JAKARTA, KOMPAS.com - Mantan Wakil Presiden Pertama Republik Indonesia Mohammad Hatta dikenal sebagai pribadi yang egaliter dan tak banyak bicara di kalangan teman-teman dekatnya para politikus dan pejuang kemerdekaan.
Mohammad Bondan yang merupakan salah satu dari enam pejuang kemerdekaan yang turut dibuang oleh pemerintah kolonial Hindia Belanda ke Boven Digul pada 29 Januari 1935 mengatakan Hatta memang dekat dengan kawan-kawannya sesama pejuang, tetapi memilih bicara dan bersenda gurau seperlunya.
Dalam wawancara yang diterbitkan surat kabar Kompas edisi 17 Maret 1980, Bondan yang merupakan pengurus Partai Nasional Indonesia (PNI) yang sempat dibubarkan pemerintah Hindia Belanda kembali mengingat masa-masa pembuangan dia dan Hatta ke Digul. Pada saat itu mereka dibawa menggunakan kapal laut Melchior Treube.
Perjalanan dari Batavia (kini Jakarta) menuju Digul dilakukan selama 25 hari. Menurut Bondan, saat itu mereka ditempatkan di dek kapal yang cukup luas sehingga bisa bebas bergerak.
"Tentunya Bung Hatta bisa berbuat macam-macam kegiatan waktu itu. Nyatanya beliau tetap tenang saja. Tak banyak gerak," kata Bondan.
16 peti buku
Setelah sampai di Digul, Bondan mengatakan barang bawaan Hatta yang paling banyak. Yakni 16 peti berisi buku.
"Hidup Bung Hatta itu hampir seluruhnya diabadikan pada perjuangan. Hampir seluruh waktunya ditumpahkan untuk belajar," ujar Bondan.
Dalam mengisi waktu luang di tempat pembuangan, Bondan, Hatta, dan Sutan Syahrir memilih bermain sepak bola.
"Bung Hatta suka main bola bersama kami. Bung Hatta memilih sebagai bek. Syahrir sebagai gelandang tengah dan saya kanan luar," ujar Bondan.
"Kalau tidak dia main catur atau dam-daman. Tetap semua itu dilakukan tanpa perhatian khusus, sehingga kalau kalah mainpun tak ada pengaruhnya pada sikap Bung Hatta," lanjut Bondan.
Selama di Digul itu Bondan melihat Hatta adalah seorang tahanan politik yang ritme hidupnya teratur dan disiplin. Semua kegiatan Hatta, kata Bondan, sudah terjadwal.
"Ambil saja kebiasaan Bung Hatta membuat 'time table' kegiatan hariannya di Digul. Jam sekian menyalakan api untuk masak air. Dari jam sekian ke jam sekian belajar," kata Bondan.
Selama di Digul, Bung Hatta menjadi guru bagi para tahanan politik lainnya. Dia mengajarkan soal ekonomi, politik, sampai filsafat.
Bondan mengatakan pemerintah Hindia Belanda kemudian memindahkan Hatta dan Syahrir ke Bandaneira, sedangkan dia tetap berada di Digul sampai Jepang menyerbu pada 1943. Sebelum Jepang sampai, pemerintah Hindia Belanda terlebih dulu memindahkan Bondan dan para tapol di Digul ke Australia.
Pada Proklamasi Kemerdekaan pada 17 Agustus 1945, Bondan dan Hatta masih terpisah. Keduanya kembali bertemu setelah Bondan pulang dari Australia bersama sang istri, Molly, pada 1948.
Saat itu Hatta sudah menjadi Wakil Presiden Republik Indonesia. Maka dari itu pengamanan terhadapnya sangat ketat karena masih dalam masa revolusi.
Bondan mengakui saat itu tidak mudah bertemu dengan kawan karibnya sesama "Digulis" itu. Akan tetapi, ketika bertemu Bondang menyatakan tidak ada perangai Hatta yang berubah. Bahkan menurut dia Hatta tetap murah senyum meski tak banyak bicara.
"Memang waktu itu mulai ada hambatan protokol untuk kita temui seperti dulu. Tapi dalam hal ini Bung Hatta yang sengaja memanggil kami dan menanya keadaan kami. Bung Hatta tak pernah melupakan teman-temannya," ujar Bondan.
"Setelah di Jakarta pun Bung Hatta suka memutar film di rumahnya serta mengundang kami, sekadar cari kesempatan menghindari aturan protokol yang agak membatasi hubungan dengan teman-teman," kata Bondan.
Sumber
Kompas edisi 17 Maret 1980: "Mohammad Bondan: Mohammad Hatta yang Saya Kenal".
https://nasional.kompas.com/read/2022/03/14/08040061/bung-hatta-yang-tak-banyak-bicara-dan-sepak-bola