JAKARTA, KOMPAS.com - Pernyataan Presiden Joko Widodo (Jokowi) tentang percakapan di WhatsApp Group (WAG) kalangan TNI-Polri terkait kebijakan pemindahan ibu kota negara dinilai sebagai cermin hubungan yang kurang baik antara sipil dan militer. Bahkan ada kecenderungan dipolitisasi.
"Ini relasi yang tidak baik antara sipil dan militer. Kecenderungannya militer dipolitisasi," kata pengamat militer Al Araf kepada Kompas.com, Selasa (2/3/2022).
Al Araf mengatakan, hubungan antara sipil dan militer dalam sebuah negara demokrasi harus berdasarkan prinsip objective civilian control. Teori itu diutarakan oleh pakar politik Amerika Serikat, Samuel P. Huntington, dalam buku The Soldier and the State.
"Maksudnya adalah kelompok sipil mengendalikan militer dengan menghargai prinsip otonomi militer dengan tujuan supaya militer menjadi profesional," ujar Al Araf.
Sedangkan lawan dari teori itu, menurut Al Araf, adalah subjective civilian control. Artinya adalah kalangan sipil melakukan intervensi dengan menerapkan pembatasan secara aturan dan kelembagaan terhadap militer.
Al Araf mengatakan, subjective civilian control akan berdampak terhadap politisasi militer. Militer menjadi arena meraih dukungan politik bagi kalangan sipil, dan menurut dia contoh dari hal itu bisa dilihat saat ini.
"Contoh intervensi sipil terhadap militer adalah saat pergantian posisi pucuk pimpinan. Seperti dalam pergantian Panglima TNI yang seharusnya dijabat bergiliran dari tiga matra yang ada, karena ada faktor kedekatan politik kalangan tertentu maka menjadi berbeda," ujar Al Araf.
"Begitu juga halnya dengan Pangkostrad. Sistem Merit yang sudah dibangun menjadi tidak berjalan karena relasi yang politis itu," sambung Al Araf yang juga merupakan Direktur Imparsial.
Yang dimaksud dengan sistem merit adalah kebijakan dan manajemen yang berdasarkan kualifikasi, kompetensi, dan kinerja yang diberlakukan secara adil dan wajar tanpa diskriminasi. Tujuan penerapannya adalah merekrut sumber daya manusia (SDM) yang profesional dan berintegritas dan menempatkan jabatan-jabatan sesuai kompetensi, mengembangkan kemampuan dan kompetensi SDM, memberikan kepastian karier dan melindungi SDM dari intervensi politik dan tindakan kesewenang-wenangan, pengelolaan SDM secara efektif dan efisien, dan memberikan penghargaan bagi SDM yang adil dan layak sesuai kinerja.
Menurut Al Araf, bentuk lain dari politisasi hubungan sipil-militer saat ini adalah pelibatan TNI dalam sejumlah program pemerintah, seperti ketahanan pangan. Padahal, hal itu bukan menjadi tugas dan fungsi TNI.
Dalam negara demokrasi dan berdasarkan teori objective civilian control, kata Al Araf, militer memang tidak bisa mengkritik atau melakukan koreksi terhadap kepemimpinan sipil. Namun, sipil juga tidak bisa melakukan intervensi terlalu jauh dan menghormati prinsip otonomi supaya militer berkembang menjadi profesional serta tidak dipolitisasi.
"Militer harus patuh terhadap kepemimpinan sipil dan tugas TNI mendukung seluruh keputusan pemerintah, tapi secara bersamaan sipil harus menjaga hubungan dengan militer secara baik dengan menghormati otonomi," ujar Al Araf.
Pernyataan terkait percakapan grup WhatsApp itu disampaikan Jokowi dalam Rapat Pimpinan TNI-Polri geram dengan adanya personel TNI-Polri yang berbicara soal ketidaksukaan terhadap kebijakan pemindahan ibu kota negara (IKN) di WhatsApp Group (WAG).
Ia pun meminta agar para personel TNI-Polri yang memperdebatkan IKN untuk didisiplinkan.
"Saya lihat di WA grup, kalau di kalangan sendiri boleh, hati-hati. Kalau dibolehkan dan kalau diterus-teruskan hati-hati. Misalnya bicara mengenai IKN, enggak setuju IKN apa," ujar Jokowi saat memberi sambutan di Rapim TNI-Polri 2022 yang digelar di Mabes TNI, Jakarta, Selasa (1/3/2022).
Jokowi menegaskan, kebijakan pemindahan ibu kota baru sudah diputuskan. Oleh karena itu, kata Jokowi, personel TNI-Polri diminta untuk tidak sembarangan berbicara soal IKN.
"Itu sudah diputuskan pemerintah dan disetujui DPR. Kalau di dalam disiplin TNI-Polri sudah tidak bisa diperdebatkan. Apalagi di WA grup dibaca gampang. Hati-hati," tegasnya.
Jokowi lalu menekankan soal kesetiaan prajurit kepada negara. Menurutnya, disiplin tentara dan polisi berbeda dengan sipil.
"Ini perlu saya ingatkan, di seluruh dunia tentara punya aturan sendiri. Kitab undang-undang disiplin tentara, yang intinya kalau kita lihat, intinya adalah kesetiaan tegak lurus. Saya baca ini apa sih intinya? Kesetiaan tegak lurus," sebut Jokowi.
Di Rapim TNI-Polri, Jokowi juga sempat berbicara prajurit tidak bisa ikut dalam urusan demokrasi karena statusnya berbeda dengan masyarakat sipil.
"Yang namanya disiplin tentara, yang namanya disiplin di kepolisian itu berbeda dengan masyarakat sipil, sangat beda sekali. Tidak bisa yang namanya tentara, yang namanya polisi itu ikut dalam urusan demokrasi," tegasnya.
Jokowi mengingatkan agar personel TNI-Polri disiplin mematuhi perintah Negara.
"Dengan berbicara masalah demokrasi, tidak ada namanya di tentara-kepolisian, enggak ada. Hal seperti ini harus mulai dikencangkan lagi, supaya masyarakat itu melihat dan bisa kita bawa juga ke arah kedisiplinan nasional," ucap Jokowi.
Kepala Negara menggarisbawahi soal disiplin nasional yang saat ini disebutnya masih lemah. Karena itu, menurut Jokowi, diperlukan contoh kedisiplinan dari TNI dan Polri.
"Ini yang kita sekarang ini lemah. Oleh sebab itu saya minta pada jajaran TNI-Polri untuk bisa memberikan contoh kepada masyarakat, urusan yang satu ini, kedisiplinan nasional, tapi juga di TNI sendiri juga harus mulai berbenah," tutur dia.
https://nasional.kompas.com/read/2022/03/03/09040011/saat-jokowi-sindir-grup-whatsapp-tni-polri-dan-relasi-sipil-militer-yang