JAKARTA, KOMPAS.com - Sikap Pemerintah Belanda yang meminta maaf atas peristiwa kekerasan ekstrem di masa revolusi Indonesia antara 1945 sampai 1949 menurut sejarawan harus diimbangi dengan revisi dalam penulisan sejarah.
Menurut sejarawan Restu Gunawan, Belanda sebaiknya melakukan perbaikan dalam penulisan sejarah karena permintaan maaf itu terjadi berdasarkan atas penelitian yang dilakukan sejumlah lembaga. Dari penelitian itu terungkap militer Belanda melakukan kekerasan ekstrem di masa revolsi dan diketahui oleh petinggi militer negara, tetapi tidak melakukan tindakan apapun untuk menghukum para pelaku.
"Dalam konteks penulisan sejarah Belanda tentu mereka yang harus memperbarui. Kalau sejarah kita selama ini memang menyebut tindakan itu sebagai agresi militer," kata Restu ketika dihubungi Kompas.com, Jumat (18/2/2022).
Aksi kekerasan militer Belanda di Indonesia dikumpulkan dalam dokumen dan kumpulan arsip kejahatan perang Belanda yang diberi judul Excessennota. Laporan itu disusun pada 1969 oleh Cees Fasseur.
Menurut laporan itu ada sekitar 76 kasus kekerasan atau kejahatan perang yang dilakukan Belanda di Indonesia pada masa revolusi, antara lain di Rawagede, Sulawesi Selatan (yang dilakukan Kapten Raymond Westerling), dan Madura.
Laporan itu yang menjadi salah satu bukti sehingga membuat hakim pada pengadilan Den Haag memerintahkan Pemerintah Belanda membayar ganti rugi kepada janda korban pembantaian di Rawagede dan Sulawesi Selatan.
Dalam kajian terbaru yang dilakukan selama empat tahun oleh peneliti Belanda dan Indonesia, ditemukan bahwa pasukan Belanda membakar desa-desa dan melakukan penahanan massal, penyiksaan, dan eksekusi selama konflik 1945-1949. Kekerasan ektrem ini dilakukan dengan dukungan diam-diam dari pemerintah.
Dalam studi tersebut peneliti menyebut bahwa pihak Belanda mulai dari politikus, pejabat, pegawai negeri, hakim, dan sebagainya mengetahui tentang kekerasan ekstrem dan sistematis itu.
"Ada kemauan kolektif untuk memaafkan, membenarkan dan menyembunyikannya, dan membiarkannya tanpa hukuman. Semua ini terjadi dengan tujuan yang lebih tinggi: memenangkan perang," ungkap peneliti.
Kejahatan perang pertama kali diungkapkan oleh seorang mantan veteran Belanda pada 1969, tetapi sejak saat itu pandangan resmi adalah bahwa meskipun "berlebihan" mungkin terjadi, pasukan Belanda secara keseluruhan berperilaku dengan benar.
“Kejahatan termasuk penahanan massal, penyiksaan, pembakaran kampong (perumahan), eksekusi dan pembunuhan warga sipil," kata Frank van Vree, seorang profesor sejarah perang di Universitas Amsterdam, selama presentasi online terkait penelitian.
https://nasional.kompas.com/read/2022/02/18/19341711/sejarawan-sebut-belanda-bisa-revisi-sejarah-usai-akui-kekerasan-masa