Salin Artikel

Kilas Perjalanan Proyek Jet Tempur KFX/IFX Indonesia dan Korsel

JAKARTA, KOMPAS.com - Nasib proyek jet tempur KFX/IFX kerja sama antara Indonesia dan Korea Selatan kembali mengemuka di tengah-tengah kontrak pembelian pesawat tempur Dassault Rafale buatan Prancis.

Seperti diberitakan beberapa waktu lalu, proyek jet tempur KFX/IFX yang merupakan generasi 4.5 terhambat akibat Indonesia menunggak pembayaran biaya yang sudah diatur sedemikian rupa.

Proyek itu merupakan program nasional yang dimulai pada masa pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan dilanjutkan di masa pemerintahan Presiden Joko Widodo.

Indonesia dan Korsel meneken perjanjian kerja sama kesepakatan pembagian ongkos produksi jet tempur KFX/IFX pada 2014 antara Menteri Pertahanan Purnomo Yusgiantoro dan Duta Besar Korea Selatan Cho Tai-young. Perjanjian itu meliputi kerja sama rekayasa teknik dan pengembangan.

Lalu dua tahun kemudian, Pemerintah Indonesia melalui PT Dirgantara Indonesia dan Korea Aerospace Industries (KAI) meneken kesepakatan pembagian tugas. Kesepakatan itu mengatur tentang porsi keterlibatan PT DI dalam program jet tempur terkait dengan desain, data teknis, spesifikasi, informasi kemampuan, pengembangan purwarupa, pembuatan komponen, serta pengujian dan sertifikasi.

Dalam kontrak kerja sama itu dipaparkan bahwa Pemerintah Korsel menanggung 60 persen pembiayaan proyek, kemudian sisanya dibagi rata antara Pemerintah Indonesia dan Korea Aerospace Industries (KAI) masing-masing 20 persen.

Dari persentase itu, Indonesia menanggung beban pembiayaan sebesar Rp 20.3 triliun. Dari jumlah itu, Indonesia masih menunggak Rp 7.1 triliun.

Juru Bicara Menteri Pertahanan Prabowo Subianto, Dahnil Anzar Simanjuntak, pada 8 September 2020 mengatakan pemerintah mengajukan renegosiasi terkait kontrak proyek itu. Dia mengatakan Pemerintah mengajukan berulang kali mengajukan renegosiasi sejak masa Menteri Pertahanan Ryamizard Ryacudu periode 2014 sampai 2019.

Pemerintah Indonesia, kata Dahnil, meminta penurunan pembagian ongkos program menjadi 15 persen. Sementara itu pemerintah Korsel hanya menyetujui renegosiasi pembagian ongkos kontrak di angka 18,8 persen.

Masalah lainnya elain itu, para insinyur PT Dirgantara Indonesia (PTDI) yang dikirim ke Korea Selatan untuk menjadi bagian tim proyek mengeluh tidak diberi akses, termasuk dalam hal teknologi tingkat tinggi yang sensitif. Penyebab akses terhadap teknologi itu terhambat disebabkan oleh urusan diplomatik.

Korsel menyatakan, Pemerintah Indonesia tidak mempunyai perjanjian akses teknologi tingkat tinggi atau sensitif dengan Amerika Serikat. Sebab, Korsel mendapatkan panduan tentang teknologi itu sebagai bagian dari kontrak pembelian jet tempur siluman F-35 buatan Lockheed Martin.

Akan tetapi, AS tidak memberikan beberapa teknologi tinggi pada jet F-35 kepada Korsel. Teknologi yang dirahasiakan itu jajaran radar dipindai elektronik aktif (AESA), perangkat pencari dan pemburu inframerah (IRST), targeting pod optik elektronik (perangkat identifikasi dan pemandu amunisi presisi udara ke darat), dan perangkat pengacak frekuensi radio.

Meski demikian, besar kemungkinan proyek itu akan tetap berjalan karena dampak kerugian finansial yang dialami bisa sangat besar jika Indonesia menarik diri dari program itu.

https://nasional.kompas.com/read/2022/02/14/18265171/kilas-perjalanan-proyek-jet-tempur-kfx-ifx-indonesia-dan-korsel

Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke