Salin Artikel

Mengenal Mayoritarian Dua Putaran, Sistem Pemilu Presiden di Indonesia

JAKARTA, KOMPAS.com - Indonesia menggelar pemilu presiden (pilpres) setiap 5 tahun sekali.

Pilpres pertama diselenggarakan pada 2004. Saat itu, untuk pertama kalinya dalam sejarah, rakyat Indonesia dapat memilih langsung presiden dan wakil presiden melalui pemilihan umum.

Sebelumnya, presiden dan wakil presiden dipilih oleh MPR yang anggota-anggotanya dipilih melalui presiden.

Di Indonesia, pemilu presiden digelar dengan sistem mayoritarian dua putaran atau majoritarian two round system.

Ketentuan tentang sistem pilpres di Indonesia diatur dalam Undang-Undang Dasar 1945, khususnya Pasal 6A Ayat (3) dan (4).

Pasal 6A Ayat (3) berbunyi, "Pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden yang mendapatkan suara lebih dari lima puluh persen dari jumlah suara dalam pemilihan umum dengan sedikitnya dua puluh persen suara di setiap provinsi yang tersebar di lebih dari setengah jumlah provinsi di Indonesia, dilantik menjadi Presiden dan Wakil Presiden".

Kemudian, pada Pasal 6A Ayat (4) dijelaskan, "Dalam hal tidak ada pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden terpilih, dua pasangan calon yang memperoleh suara terbanyak pertama dan kedua dalam pemilihan umum dipilih oleh rakyat secara langsung dan pasangan yang memperoleh suara rakyat terbanyak dilantik sebagai Presiden dan Wakil Presiden".

Anggota Dewan Pembina Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Titi Anggraini menjelaskan, dengan ketentuan tersebut, calon presiden dan wakil presiden harus mengantongi suara minimal 50 persen plus 1 untuk dinyatakan menang pilpres.

Namun, apabila tidak ada satu pun dari pasangan calon yang mendapatkan suara 50 persen plus 1, maka harus digelar pilpres putaran kedua.

Sistem itulah yang disebut sebagai mayoritarian dengan dua putaran atau majoritarian two round system.

Sistem mayoritarian berbeda dengan pluralitas. Pluralitas merupakan sistem pemilu yang menetapkan pemenang pilpres berdasarkan perolehan suara terbanyak murni, berapa pun suara yang diperoleh pasangan calon.

"Sedangkan kalau sistem pemilu mayoritas, maka dia harus memperoleh suara mayoritas yaitu 50 persen plus 1. Mayoritas bukan hanya suara terbanyak, tapi mayoritas yang memperoleh 50 persen plus 1, artinya dia mengungguli yang lain," jelas Titi Anggraini kepada Kompas.com.

Di Indonesia, pilpres pernah digelar sebanyak dua putaran pada tahun 2004. Saat itu, pada putaran pertama, tak ada satu pun pasangan calon presiden dan wakil presiden yang mendapat suara 50 persen plus 1.

Pilpres putaran pertama digelar pada 5 Juli 2004 dan diikuti oleh 5 pasangan calon, yakni:

  1. Wiranto dan Salahuddin Wahid;
  2. Megawati Soekarnoputri dan Hasyim Muzadi;
  3. Amien Rais dan Siswono Yudo Husodo;
  4. Susilo Bambang Yudhoyono dan Jusuf Kalla;
  5. Hamzah Haz dan Agum Gumelar.

Adapun pilpres putaran kedua digelar 2 bulan setelahnya, yaitu 20 September 2004. Putaran kedua mempertemukan dua pasangan calon yang mendapatkan suara terbanyak pertama dan kedua pada saat putaran pertama, yakni pasangan Megawati Soekarnoputri dan Hasyim Muzadi dengan Susilo Bambang Yudhoyono dan Jusuf Kalla.

Pilpres putaran kedua itu dimenangkan oleh SBY-Jusuf Kalla dengan perolehan suara 69.266.350 atau 60,62 persen.

Pelaksanaan Pilpres juga diatur dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum, khususnya Pasal 168 Ayat (1).

Dalam pasal tersebut dikatakan bahwa, "Pemilu Presiden dan Wakil Presiden dilaksanakan di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagai satu kesatuan daerah pemilihan".

Ketentuan tersebut menegaskan bahwa yang memiliki hak suara untuk memilih calon presiden dan presiden tidak hanya warga negara Indonesia yang memenuhi syarat yang ada di dalam negeri, tetapi juga WNI di luar negeri.

https://nasional.kompas.com/read/2022/02/10/18244871/mengenal-mayoritarian-dua-putaran-sistem-pemilu-presiden-di-indonesia

Terkini Lainnya

Respons Luhut Soal Orang 'Toxic', Golkar Klaim Menterinya Punya Karya Nyata

Respons Luhut Soal Orang "Toxic", Golkar Klaim Menterinya Punya Karya Nyata

Nasional
Ditanya Soal Progres Pertemuan Prabowo-Megawati, Gerindra: Keduanya Mengerti Kapan Harus Bertemu

Ditanya Soal Progres Pertemuan Prabowo-Megawati, Gerindra: Keduanya Mengerti Kapan Harus Bertemu

Nasional
Gerindra Tangkap Sinyal PKS Ingin Bertemu Prabowo, tapi Perlu Waktu

Gerindra Tangkap Sinyal PKS Ingin Bertemu Prabowo, tapi Perlu Waktu

Nasional
Mencegah 'Presidential Club' Rasa Koalisi Pemerintah

Mencegah "Presidential Club" Rasa Koalisi Pemerintah

Nasional
Nasdem-PKB Gabung Prabowo, Zulhas Singgung Pernah Dicap Murtad dan Pengkhianat

Nasdem-PKB Gabung Prabowo, Zulhas Singgung Pernah Dicap Murtad dan Pengkhianat

Nasional
Pengamat HI Harap Menlu Kabinet Prabowo Paham Geopolitik, Bukan Cuma Ekonomi

Pengamat HI Harap Menlu Kabinet Prabowo Paham Geopolitik, Bukan Cuma Ekonomi

Nasional
PDI-P Harap MPR Tak Lantik Prabowo-Gibran, Gerindra: MK Telah Ambil Keputusan

PDI-P Harap MPR Tak Lantik Prabowo-Gibran, Gerindra: MK Telah Ambil Keputusan

Nasional
Sepakat dengan Luhut, Golkar: Orang 'Toxic' di Pemerintahan Bahaya untuk Rakyat

Sepakat dengan Luhut, Golkar: Orang "Toxic" di Pemerintahan Bahaya untuk Rakyat

Nasional
Warung Madura, Etos Kerja, dan Strategi Adaptasi

Warung Madura, Etos Kerja, dan Strategi Adaptasi

Nasional
BMKG: Suhu Panas Mendominasi Cuaca Awal Mei, Tak Terkait Fenomena 'Heatwave' Asia

BMKG: Suhu Panas Mendominasi Cuaca Awal Mei, Tak Terkait Fenomena "Heatwave" Asia

Nasional
Momen Unik di Sidang MK: Ribut Selisih Satu Suara, Sidang 'Online' dari Pinggir Jalan

Momen Unik di Sidang MK: Ribut Selisih Satu Suara, Sidang "Online" dari Pinggir Jalan

Nasional
Maksud di Balik Keinginan Prabowo Bentuk 'Presidential Club'...

Maksud di Balik Keinginan Prabowo Bentuk "Presidential Club"...

Nasional
Resistensi MPR Usai PDI-P Harap Gugatan PTUN Bikin Prabowo-Gibran Tak Dilantik

Resistensi MPR Usai PDI-P Harap Gugatan PTUN Bikin Prabowo-Gibran Tak Dilantik

Nasional
“Presidential Club” Butuh Kedewasaan Para Mantan Presiden

“Presidential Club” Butuh Kedewasaan Para Mantan Presiden

Nasional
Prabowo Dinilai Bisa Bentuk 'Presidential Club', Tantangannya Ada di Megawati

Prabowo Dinilai Bisa Bentuk "Presidential Club", Tantangannya Ada di Megawati

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke