JAKARTA, KOMPAS.com - Setara Institute mendukung penerbitan Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Ristek, dan Teknologi (Permendikbud Ristek) Nomor 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (PPKS) di Lingkungan Perguruan Tinggi.
Peneliti Setara Institute, Sayyidatul Inisiyah, mengatakan, saat ini kasus kekerasan seksual semakin meningkat, tetapi tidak ada jaminan kepastian hukum yang komprehensif.
"Tidak ada payung hukum yang memang secara komprehensif mengatur bagaimana langkah pencegahan sampai dengan bagaimana upaya penanganan kekerasan seksual," kata Sayyidatul dalam diskusi virtual MNC Trijaya, Sabtu (13/11/2021).
Berdasarkan data Komnas Perempuan tahun 2020 yang dihimpun Setara Institute, tercatat ada peningkatan kekerasan seksual terhadap perempuan, khususnya di saat pandemi Covid-19.
Sementara itu, pembahasan Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS) di DPR masih stagnan dan belum selesai.
Oleh karena itu, Setara Institute menilai masih ada kekosongan hukum yang saat ini untuk menjawab terkait permasalahan kekerasan seksual.
"Memang saat ini sudah darurat kekerasan seksual terhadap perempuan," ucapnya.
Terkait adanya perdebatan soal ketentuan consent atau persetujuan, Sayyidatul berpendapat memang sulit untuk mengatur hal yang berkaitan dengan ranah privat.
"Dan kami rasa juga negara bukan dalam kapasitas terlalu mengintervensi ranah privat seseorang. Biarkanlah itu menjadi hubungan antara individu tersebut dengan Tuhannya," kata dia.
"Tetapi, melalui permen itu, negara mencoba mengakomodasi ketika ada peristiwa yang mengganggu ketenteraman masyarakat," tuturnya.
Adapun Permendikbud Ristek 30/2021 diterbitkan pada 31 Agustus 2021.
Beleid ini mengatur kekerasan seksual mencakup tindakan yang dilakukan secara verbal, nonfisik, fisik, serta melalui teknologi informasi dan komunikasi.
Dalam Pasal 5, setidaknya dicatat ada 21 bentuk kekerasan seksual yang secara tegas diatur dalam aturan tersebut.
Beberapa di antaranya berupa melakukan tindakan kekerasan seksual yang tidak mendapatkan persetujuan (consent) korban.
Kemudian, tindakan diskriminasi atau pelecehan yang berintensi seksual, baik melalui ujaran, tatapan, ataupun virtual.
Selanjutnya, tindakan memaksa serta memperdayai korban untuk melakukan aktivitas seksual hingga melakukan aborsi.
https://nasional.kompas.com/read/2021/11/13/15384231/dukung-permendikbud-ppks-setara-institute-kekerasan-seksual-meningkat-tetapi