Salin Artikel

Kandasnya "Judicial Review" AD/ART Partai Demokrat di Tangan MA

JAKARTA, KOMPAS.com - Uji materi atau judicial review (JR) atas Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga (AD/ART) Partai Demokrat yang diajukan oleh sejumlah eks kader akhirnya kandas.

Mahkamah Agung (MA) memutuskan tidak menerima JR tersebut karena tidak berwenang memeriksa mengadili, dan memutus objek permohonan.

"AD/ART parpol bukan norma hukum yang mengikat umum, tetapi hanya mengikat internal parpol (partai politik) yang bersangkutan," kata Juru Bicara MA Andi Samsan Nganro kepada Kompas.com, Rabu (10/11/2021).

Ia menjelaskan, AD/ART partai tidak memenuhi unsur sebagai suatu peraturan perundang-undangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 2 dan Pasal 8 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2019 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.

Selain itu, MA juga menilai partai politik bukan lembaga negara, badan, atau lembaga yang dibentuk oleh undang-undang atau pemerintah atas perintah undang-undang.

Ia juga menyebutkan, tidak ada delegasi dari undang-undang yang memerintahkan partai politik untuk membentuk peraturan perundang-undangan.

Kuasa hukum Partai Demokrat Hamdan Zoelva berpandangan, keputusan MA menolak JR sudah tepat, karena sejak awal pihaknya menilai MA memang tidak dapat melakukan JR atas AD/ART partai.

"Apa yang diputuskan oleh Mahkamah Agung sangat tepat sekali dengan pertimbangan yang sangat teliti, dan mendalam, dan menyeluruh," kata Hamdan, di Kantor DPP Partai Demokrat, Rabu.

"Karena kalau sekali jebol bahwa anggaran dasar bisa di-judicial review, maka rusaklah tatanan hukum kita secara keseluruhan," kata Hamdan melanjutkan.

AHY gembira

Dari Rochester, Amerika Serikat, Ketua Umum Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) menyampaikan, dirinya bahagia saat mengetahui MA menolak JR atas AD/ART Partai Demokrat.

"Kami yakin bahwa gugatan tersebut akan ditolak, karena gugatannya sangat tidak masuk di akal. Judicial review AD ART Partai Demokrat ini hanyalah akal-akalan Pihak KSP Moeldoko, melalui proxy-proxy-nya, yang dibantu pengacara Yusril Ihza Mahendra," kata AHY dalam keterangan video.

Menurut AHY, tujuan akhir dari JR AD/ART tersebut sangat jelas, yakni mengambil alih kepemimpinan Partai Demokrat yang sah dan diakui oleh pemerintah.

Padahal, kata AHY, jika Partai Demokrat dianalogikan sebagai sebuah aset properti, maka sertifikat yang sah dan diakui pemerintah hanya satu, yakni yang ia kantongi dan pegang mandatnya hingga 2025.

"Tidak pernah KSP Moeldoko mendapatkan sertifikat dari pemerintah atas kepemilikan properti itu. Jadi tidak ada hak apa pun bagi KSP Moeldoko atas Partai Demokrat," kata AHY.

Di samping itu, AHY mengungkapkan, terdapat satu pemohon JR AD/ART yang kini mengakui kesalahannya, meminta maaf, dan memohon agar diterima kembali sebagai kader Partai Demokrat.

Seperti diketahui, empat pemohon JR AD/ART ini merupakan para eks kader Demokrat yang telah dipecat lantaran menyeberang ke kubu Kongres Luar Biasa (KLB) Deli Serdang.

"Terhadap mantan kader yang menyadari kesalahan dan mau memperbaiki kesalahannya tersebut, saya tentu akan memaafkan dan menerimanya kembali sebagai kader Partai Demokrat," kata AHY.

"Sedangkan untuk tiga orang lainnya, yang tidak mengakui kesalahannya, atau telah gelap mata dan dibutakan oleh janji-janji KSP Moeldoko, maka tentu saya harus mengambil sikap yang tegas," ujar dia.

Ia juga berpesan kepada kader Demokrat agar tetap rendah hati dan tidak bereuforia atas kandasnya JR AD/ART Partai Demokrat di MA.

Ia berharap, putusan MA ini dapat menjadi preferensi bagi hakim Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta yang menangani perkara terkait konflik antara Partai Demokrat dan KLB Deli Serdang.

Yusril anggap putusan MA sumir

Sementara itu, kuasa hukum pemohon JR Yusril Ihza Mahendra menganggap putusan MA itu sumir tetapi tetap harus dihormati.

"Pertimbangan hukum MA terlalu sumir dalam memutus persoalan yang sebenarnya rumit berkaitan dengan penerapan asas-asas demokrasi dalam kehidupan partai. Tetapi itulah putusannya dan apapun putusannya, putusan itu tetap harus kita hormati," ujar Yusril dalam keterangan tertulis.

Yusril mengaku tidak sependapat dengan MA. Ia menilai, AD/ART tidak sepenuhnya mengikat ke dalam tetapi juga keluar.

Ia mencontohkan, AD/ART partai politik juga mengatur syarat menjadi anggota partai. Menurut Yusril, syarat itu mengikat setiap orang yang belum ingin menjadi anggota partai.

Yusril pun berpendapat, pertimbangan hukum MA dalam memeriksa perkara ini terlihat sangat elementer.

Ia menilai, pertimbangannya masih jauh untuk dikatakan masuk ke area filsafat hukum dan teori ilmu hukum untuk memahami pembentukan norma hukum secara mendalam.

Karena itu, dia dapat memahami mengapa MA sampai pada keputusan menyatakan permohonan tidak dapat diterima tanpa memandang perlu untuk memeriksa seluruh argumen yang dikemukakan dalam permohonan.

"Walaupun secara akademik putusan MA tersebut dapat diperdebatkan, namun sebagai sebuah putusan lembaga peradilan tertinggi, putusan itu final dan mengikat," kata mantan Menteri Hukum dan HAM itu.

Adapun Juru Bicara Kubu KLB Muhammad Rahmad menyatakan, pihaknya menghormati putusan MA tersebut.

Pihaknya justru beryukur MA menolak uji materi tersebut karena menurutnya menguatkan gugatan kubu KLB di PTUN Jakarta.

Ia menjelaskan, dalam gugatan di PTUN Jakarta itu, kubu KLB menggugat Menteri Hukum dan HAM untuk mengesahkan hasil KLB Deli Serdang dan AD/ART Tahun 2021 versi kubu KLB.

"Jika judicial review tersebut sempat dikabulkan Mahkamah Agung, maka peluang kubu AHY untuk melakukan perbaikan AD/ART di Kongres Luar Biasa (KLB) menjadi terbuka. Hal tersebut tentu saja akan menimbulkan persoalan baru bagi kami," kata Rahmad.

"Namun dengan penolakan MA tersebut, maka gugatan kami di TUN 150 menjadi makin kuat dan peluang kubu AHY untuk melakukan perbaikan AD/ART menjadi tertutup," sambung dia.

https://nasional.kompas.com/read/2021/11/11/06375291/kandasnya-judicial-review-ad-art-partai-demokrat-di-tangan-ma

Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke