Salin Artikel

Sudut Pandang Lain Kasus Menteri Agama Yaqut: Kemenag Hadiah untuk NU

Awal kata

Ketika nama Jenderal TNI (Purn) Fachrul Razi diumumkan sebagai Menteri Agama dalam kabinet Jokowi-Ma'ruf, dada kaum nahdliyin bergemuruh.

Sejumlah aktivisnya meriang. Dunia maya nyaris dipenuhi gugatan, keberatan, bahkan kecaman. Jokowi dianggap tidak mendengar suara NU. Bahkan disebut tak pandai balas jasa karena KH Ma'ruf Amin dengan gerbong NU-nya, mereka yakini sebagai faktor determinan kemenangan Jokowi.

Bulan pertama sebagai Menteri Agama, mantan Wakil Panglima TNI asal Aceh itu, disibukkan dengan kegiatan pengenalan diri ke lumbung-lumbung NU. Jawa Timur, misalnya.

Sangat boleh jadi Fachrul Razi merasa "salah tempat" sehingga dia juga sering salah tingkah.

Fachrul baru agak bisa lepas dari situasi tak nyaman setelah Jokowi memberinya Wakil Menteri Agama, Zainut Tauhid, seorang kader NU. Mantan Wakil Ketua Umum MUI Pusat. Secara politik, dari faksi PPP.

Sampai di sini, apakah urusan kelar?

Ternyata tidak. Bahkan, posisi Wakil Presiden belum membuat mereka senang. Jabatan itu dirasa hanya memenuhi kemenangan emosi. Mereka butuh kursi yang lebih "maslahah" bagi NU.

Dari pusat hingga ke ranting, perasaan kurang happy masih menggantung hingga akhirnya Presiden Jokowi melepas Fachrul dan mengangkat anak kandung NU, cicit muassis NU, salah seorang kader teras, Ketua Umum PP GP Ansor, Yaqut Cholil Qoumas.

Soal Kementerian Agama

Nah, tempo hari, di sebuah webinar yang diakui Gus Menteri, demikian sapaan teman-teman Gus Yaqut di Ansor, adalah temu internal sesama kader NU, muncul "klaim" soal Kementerian Agama (Kemenag).

Sebagaimana wataknya yang suka blak-blakan, Gus Menteri berusaha mengangkat pride santri: anak-anak muda NU. Memanfaatkan momentum Hari Santri Nasional. Ia ingin berbagi kabangaan sebagai sesama warga NU. Jam'iyyah yang punya sejarah panjang mengabdi pada negeri.

Bisa diyakini, Gus Menteri tidak sacara denotatif ingin mengklaim bahwa Kemenag adalah hadiah untuk NU an sich. Ia pasti paham sejarah. Ia tidak mungkin berniat melukai rekan organisasi Islam dan agama lain yang juga punya peran besar bagi Republik.

Ia tidak akan berkata sebodoh itu, jika locus-nya di forum terbuka. Seperti diakui bahwa konstatasi itu lebih pada upayanya mengajak para santri untuk berkhidmah maksimal.

Di luar forum internal itu, berkembang beragam tafsir. Bahkan cenderung liar. Itu sepenuhnya tidak bisa disalahkan. Hanya saja, ketika arahnya melenceng jauh dari substansi, terbuka ruang saling gugat, saling tuding dan saling menyalahkan.

Lebih-lebih sejumlah pihak mendekati perkara ini dari sisi historis. Sisi ini merupakan ruang paling terbuka untuk melahirkan sejumlah varian tafsir yang kian subjektif dan bias.

Ada yang menyebut, jika dua orang ahli hukum bertemu, bisa jadi akan lahir paling tidak tiga pandangan hukum. Padahal, hukum termasuk ranah ilmu yang paling ketat kaidah-kaidahnya.

Tapi jika dua sejarawan bertemu, sangat boleh jadi akan muncul sedikitnya sepuluh sudut pandang tentang sebuah peristiwa. Tafsir atas sebuah peristiwa, jangankan soal sejarah Republik ini, bahkan tafsir atas sirah Nabi pun melahirkan gerakan revisionis.

Sudut pandang santri

Tentu tersedia banyak pisau bedah untuk menganalisis pernyataan Gus Menteri. Demi tujuan melokalisir ke hal-hal terkait semantik dan semiotika, kita akan melihatnya hanya dari sudut pandang ilmu ushul.

Jika menggunakan pendekatan ini, maka akan tersaji sejumlah kaidah Ushul Fiqh untuk melihat pernyataan tersebut dari "sudut pandang" santri.

Dengan begitu, ini akan lebih fair dibanding, misalnya, melihatnya dari perspektif politik dan kekuasaan.

Dari sejumlah kaidah ushul yang tersedia, kaidah di bawah ini bisa dijadikan landasan. Kaidah ini biasa digunakan untuk memahami maksud, tujuan dan arah ayat Alquran atau Hadits Nabi tentang suatu perkara.

Lebih dari itu, juga biasa digunakan dalam pergaulan sehari-hari. Hanya saja, karena tidak setiap berwacana kita membutuhkan kaidah, maka sering pula kita tidak menyadari bahwa sejatinya kita tengah mempraktekkan kaidah ini.

Kaidah itu berbunyi :

"Al 'Ibrotu Bi 'Umuumil Lafdzi Laa Bi Khushuushis Sababi"

Artinya: "Pelajaran diambil dari keumuman lafadz, bukan dari kekhususan sebab."

Misal, salah seorang anggota keluarga mendapat penghargaan karena prestasi akademik, organisasi, atau pekerjaan. Meski yang berprestasi hanya salah seorang dari anggota keluarga, tapi penghargaan dapat disebut sebagai keberhasilan semua anggota keluarga.

Prestasi itu dihasilkan oleh satu orang tapi kebanggaan untuk semua. "Terima kasih, De. Prestasimu adalah milik kami juga," sambut sang ayah di tasyakuran keluarga.

Contoh lain. Di sebuah perkumpulan kepemudaan, seorang pemimpin berpidato.

"Kita bersyukur kepada Tuhan. Tuhan anugerahi kemerdekaan RI kepada perkumpulan kita."

Tidak ada yang salah dari pernyataan itu. Ia mengklaim anugerah Tuhan itu hanya untuk kelompoknya.

Sebagaimana kelompok lain juga dibenarkan menggunakan klaim yang sama untuk pride. Pride potensial menumbuhkan semangat dan rasa memiliki. Tapi bukan klaim kepemilikan.

Dengan menggunakan kaidah yang sama, ulama ushul berusaha menjelaskan lalu mengambil istidlal hukum soal satu ayat Alquran yang turun terkait tindakan seorang laki-laki mencium perempuan.

Alkisah, seorang Anshar pernah mencium seorang wanita ajnabiyyah (wanita asing/bukan mahram). Maka turunlah ayat berkaitan dengan itu :

"Innal Hasanaati Yudzhibnas Sayyi-aat"

Artinya: “Sesungguhnya kebaikan-kebaikan itu menghapus kejelekan-kejelekan” [QS. Huud : 114].

Orang tersebut berkata kepada Nabi SAW,  “Apakah (ayat) ini (turun) hanya untukku, wahai Rasulullah?”

Maksud perkataan sahabat ini adalah, "Apakah hukum ayat ini dikhususkan untukku karena akulah yang menjadi sebab ayat ini turun."

Nabi SAW pun menjawab, bahwasannya pelajaran itu diambil dari keumuman lafadz, bukan kekhususan sebab, dengan sabdanya, "Bal Li Ummati Kullihim."

“(Tidak), bahkan itu berlaku untuk seluruh umatku”.

Gemar berdebat

Dengan sedikit sarkastis, Dale Carnegie dalam bukunya How to Win Friends and Influence People, menyatakan, Anda tidak bisa menang dalam sebuah debat.

Tersebab, kata Carnegie, jika kalah dalam perdebatan itu, Anda jelas berada di pihak yang kalah. Tetapi, jika menang pun, Anda tetap kalah.

Mengapa demikian?

Ketika berhasil mematahkan semua argumen lawan bicara, Anda tentu merasa menang dan senang. Anda telah mengalahkannya.

Ketika Anda memperoleh kemenangan, pada saat bersamaan pihak lawan mendapat kekalahan. Ia merasa terkalahkan, tak berdaya, tak mampu meng-atas-i Anda. Harga dirinya tercabik-cabik.

Psikologi pecundang alias yang kalah, mudah dibaca. Ia tentu kurang suka dengan kemenangan yang Anda peroleh.

Ia membenci kemenangan (bukan Anda-nya) dan meratapi kekalahan dirinya. Satu-satunya cara memperoleh manfaat dari perdebatan adalah menghindarinya!

Dan! Entah bagaimana asalnya, bangsa ini dikenal gemar sekali berdebat. Dari hal yang serius, fundamental hingga hal-hal filosofis seperti terjadi di konstituante. Karena perdebatan tiada ujung, Presiden Soekarno membubarkan lembaga tersebut.

Atau hal remeh temeh tapi bisa berujung maut. Hanya karena debat tiada akhir, seorang simpatisan calon tertentu bisa dengan ringan tangan dan tega hati menembak lawan debatnya, simpatisan calon lainnya.

Agama melihat, orang yang senang berdebat akan menimbulkan dosa dan kesesatan.

Akhirulkalam

Demi kesehatan bersama, ada baiknya meninggalkan kebiasaan berdebat, apalagi kurang penting. Terlebih, dalam kasus "Kemenag Hadiah untuk NU". Wacana itu jauh dari urusan serius apalagi fundamental bangsa.

Memang agak aneh, kita sering sekali tersulut emosi jika menyangkut klaim kepemilikan. Lalu riuhlah negeri.

Jujur, tulisan ini saya buat, muasalnya adalah ibu-ibu majelis taklim kelas RT, ikut berdebat perkara yang tidak produktif ini.

Wallaahu A'almu Bishshowaab. 

https://nasional.kompas.com/read/2021/10/27/12380151/sudut-pandang-lain-kasus-menteri-agama-yaqut-kemenag-hadiah-untuk-nu

Terkini Lainnya

Usul Prabowo Tambah Kementerian Diharap Bukan Politik Akomodatif

Usul Prabowo Tambah Kementerian Diharap Bukan Politik Akomodatif

Nasional
Pakar Ungkap 'Gerilya' Wacana Tambah Kementerian Cukup Gencar

Pakar Ungkap "Gerilya" Wacana Tambah Kementerian Cukup Gencar

Nasional
Daftar Kepala BIN dari Masa ke Masa, Zulkifli Lubis hingga Budi Gunawan

Daftar Kepala BIN dari Masa ke Masa, Zulkifli Lubis hingga Budi Gunawan

Nasional
Gelar Halalbihalal, MUI Gaungkan Pesan Kemanusiaan untuk Korban Genosida di Gaza

Gelar Halalbihalal, MUI Gaungkan Pesan Kemanusiaan untuk Korban Genosida di Gaza

Nasional
Perjalanan BIN 6 Kali Berganti Nama, dari Brani hingga Bakin

Perjalanan BIN 6 Kali Berganti Nama, dari Brani hingga Bakin

Nasional
'Prabowo Banyak Dikritik jika Tambah Kementerian, Baiknya Jaga Kebatinan Rakyat yang Sedang Sulit'

"Prabowo Banyak Dikritik jika Tambah Kementerian, Baiknya Jaga Kebatinan Rakyat yang Sedang Sulit"

Nasional
Pengamat Nilai Putusan MK Terkait Sengketa Pilpres Jadi Motivasi Kandidat Pilkada Berbuat Curang

Pengamat Nilai Putusan MK Terkait Sengketa Pilpres Jadi Motivasi Kandidat Pilkada Berbuat Curang

Nasional
PPP Papua Tengah Klaim Pegang Bukti Kehilangan 190.000 Suara pada Pileg 2024

PPP Papua Tengah Klaim Pegang Bukti Kehilangan 190.000 Suara pada Pileg 2024

Nasional
Koarmada II Kerahkan 9 Kapal Perang untuk Latihan Operasi Laut Gabungan 2024, Termasuk KRI Alugoro

Koarmada II Kerahkan 9 Kapal Perang untuk Latihan Operasi Laut Gabungan 2024, Termasuk KRI Alugoro

Nasional
Kandidat Versus Kotak Kosong pada Pilkada 2024 Diperkirakan Bertambah

Kandidat Versus Kotak Kosong pada Pilkada 2024 Diperkirakan Bertambah

Nasional
Rencana Prabowo Bentuk 41 Kementerian Dinilai Pemborosan Uang Negara

Rencana Prabowo Bentuk 41 Kementerian Dinilai Pemborosan Uang Negara

Nasional
Di MIKTA Speakers’ Consultation Ke-10, Puan Suarakan Urgensi Gencatan Senjata di Gaza

Di MIKTA Speakers’ Consultation Ke-10, Puan Suarakan Urgensi Gencatan Senjata di Gaza

Nasional
KPK Sebut Kasus Gus Muhdlor Lambat Karena OTT Tidak Sempurna

KPK Sebut Kasus Gus Muhdlor Lambat Karena OTT Tidak Sempurna

Nasional
TNI AL Ketambahan 2 Kapal Patroli Cepat, KRI Butana-878 dan KRI Selar-879

TNI AL Ketambahan 2 Kapal Patroli Cepat, KRI Butana-878 dan KRI Selar-879

Nasional
Sejarah BIN yang Hari Ini Genap Berusia 78 Tahun

Sejarah BIN yang Hari Ini Genap Berusia 78 Tahun

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke