Menurut sosiolog Universitas Gadjah Mada (UGM) AB Widyanta, ekspresi itu mengandung keresahan yang mesti disampaikan masyarakat di masa sulit saat ini.
"Di tengah situasi yang jenuh, terepresi oleh kondisi survival mereka (masyarakat) berekspresi dan mengartikulasikannya dengan menggambarkan mural," ujar Widyanta kepada Kompas.com, Jumat (27/8/2021).
"Dalam situasi pandemi eskpresi itu bisa saja ditafsirkan sebagai sarana katarsis atau semacam social healing," ujar dia.
Namun di sisi lain, lanjut Widyanta, tindakan menghapus dan mencari pembuat mural juga menggambarkan keresahan aparat penegak hukum itu sendiri.
Widyanta menjelaskan tindakan itu dilakukan aparat untuk bertahan di masa pandemi dengan menunjukan kinerjanya pada atasan.
"Pasalnya kalau membiarkan saja gambar itu mereka bisa berisiko ditegur, dimutasi, sampai diskors oleh pimpinannya," kata dia.
Widyanta menggambarkan saat ini ada kesamaan kondisi sosiologis masyarakat dan aparat penegak hukum.
"Kita semua mengidap ketakutan masing-masing, termasuk tidak menentunya hidup. Jadi baik masyarakat dan aparat sama-sama menjalankan tugasnya," ujar dia.
Tapi Widyanta berharap kemunculan berbagai mural di masyarakat tidak melulu harus ditindak dengan pengejaran dan penangkapan.
Pasalnya, tindakan itu disebutnya tak sesuai dengan semangat demokrasi.
"Jika aparat keamanan, polisi mengejar sampai melakukan penangkapan itu akan kontraporduktif terhadap keberlangsungan demokrasi yang tengah diperjuangkan oleh pemerintah sendiri," kata dia.
Diketahui, pihak kepolisian kembali melakukan pengejaran terhadap pembuat mural mirip Presiden Joko Widodo di tembok luar jembatan Pasupati, Jalan Prabu Dimuntur, kota Bandung.
Kepala Satuan Reserse Kriminal Polrestabes Bandung, Ajun Komisaris Besar Polisi Rudi Trihandoyo menyebut bahwa pencarian itu dilakukan untuk mengetahui apa maksud dari mural tersebut.
Sementara itu Pemkot Jakarta Pusat akan menghapus mural bertuliskan "Yang Bisa Dipercaya dari TV Cuma Adzan" dan ungkapan bertuliskan "Kami Lapar Tuhan".
Wakil Wali Kota Jakarta Pusat Irwandi mengklaim bahwa isi mural itu tidak mendidik.
Ia khawatir jika tidak dihapus, maka akan semakin banyak mural-mural senada yang muncul di wilayah Jakarta.
Irwandi menampik anggapan bahwa penghapusan mural itu sebagai tindakan antikritik yang ditunjukan pemerintah.
"Enggaklah, bukan antikritik, kami maksudnya supaya tidak semua tembok nanti ditulisin sama orang. Kami mencegahlah," kata dia.
https://nasional.kompas.com/read/2021/08/27/21320471/mural-jadi-sarana-ekspresi-warga-untuk-survive-sikap-aparat-juga-bertahan-di