Hukuman atas Pinangki ini sesuai putusan Pengadilan Tinggi DKI Jakarta yang mengabulkan permohonan banding Pinangki: dari 10 tahun, berkurang menjadi 4 tahun penjara.
Atas putusan itu, baik jaksa penuntut umum maupun Pinangki tidak mengajukan permohonan kasasi ke Mahkamah Agung.
Padahal peringanan hukuman terhadap Pinangki mendapatkan kritik dari berbagai organisasi pegiat anti-korupsi.
"Pada Senin 2 Agustus 2021, berdasarkan surat perintah Kepala Kejaksaan Negeri Jakarta Pusat tanggal 30 Juli 2021, jaksa eksekutor pada Kejaksaan Negeri Jakarta Pusat telah melaksanakan putusan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat jo Putusan Pengadilan Pengadilan Tinggi DKI Jakarta atas nama terdakwa Pinangki Sirna Malasari yang telah berkekuatan hukum tetap," kata Kepala Kejaksaan Negeri Jakarta Pusat Riono Budisantoso dalam keterangannya.
Pinangki merupakan terpidana perkara pengurusan fatwa bebas untuk Djoko Tjandra. Saat terlibat dalam perkara itu, ia menjabat sebagai Kepala Subbagian Perencanaan Jaksa Agung Muda Pembinaan.
Dia terbukti menerima suap, melakukan tindak pidana pencucian uang, dan melakukan permufakatan jahat dalam perkara pengurusan fatwa bebas untuk terpidana kasus hak tagih Bank Bali itu.
Eksekusi sempat tertunda
Putusan PT DKI itu telah berkekuatan hukum tetap sejak 5 Juli 2021, setelah JPU dan Pinangki tidak mengajukan kasasi.
Namun, putusan itu tidak langsung dieksekusi jaksa. Pinangki sejak 5 Juli itu tetap berada di Rumah Tahanan Kejaksaan Agung.
Langkah yang patut dipertanyakan ini ditemukan masyarakat anti korupsi Indonesia (MAKI).
Koordinator MAKI Boyamin Saiman mengecam tindakan tersebut dan menyebut kejaksaan telah mempertontonkan keistiwewaan untuk Pinangki.
"Ini jelas tidak adil dan diskriminasi atas napi-napi wanita lainnya. Telah terjadi disparitas (perbedaan) dalam penegakan hukum," kata dia, Senin (2/8/2021).
Keesokan harinya, kejaksaan merespons.
Riono, selaku pimpinan tertinggi di Kejari Jakpus, mengatakan belum dieksekusinya Pinangki ke lapas karena kendala teknis dan administratif.
"Tidak ada alasan apa-apa. Begitu urusan teknis dan administratifnya selesai, yang bersangkutan langsung dieksekusi," ujarnya.
Ketua Komisi Kejaksaan Barita Simanjuntak mengatakan, pihaknya sejak awal terus mendorong jaksa penuntut umum segera melaksanakan eksekusi setelah putusan atas Pinangki berkekuatan hukum tetap.
Hal ini sesuai dengan Pasal 197 ayat (3) KUHAP.
Menurut Barita, tidak ada keistimewaan bagi Pinangki. Dia mengatakan, ada persoalan teknis dan administratif yang harus dipenuhi dalam proses eksekusi.
"Kalau keistimewaan tentu ada perlakuan yang berbeda. Dari penjelasannya, semata-mata karena masalah administratif, teknis, dan kaitannya dengan pandemi dan penyesuaian protokol kesehatan yang harus dilakukan," kata Barita.
Banyak dapat keistimewaan
Peneliti Pusat Kajian Anti Korupsi (Pukat) Universitas Gadjah Mada (UGM) Zaenur Rohman menilai proses eksekusi Pinangki yang memakan waktu lama tidak wajar.
Ia mengaatakan, kejaksaan semestinya segera melakukan eksekusi setelah tidak mengajukan kasasi atas putusan banding Pinangki.
"Dari bulan Juli sampai Agustus belum dieksekusi menurut saya ini tidak wajar," ujar Zaenur saat dihubungi, Senin (2/8/2021).
Menurutnya, tindakan kejaksaan ini akan memunculkan semakin banyak pertanyaan soal penanganan perkara Pinangki.
Sebab, Pinangki tampak mendapatkan keistimewaan hukum dalam perkara yang menjerat dirinya.
Ia mendapatkan tuntutan ringan dari jaksa penuntut umum dan mendapatkan potongan hukuman pada pengadilan tingkat dua.
"Masyarakat kemudian bertanya-tanya mengapa terjadi perlakuan berbeda, apakah karena terpidana dari korps kejaksaan? Karena kasus ini sangat istimewa atau ada sebab lain?" ucapnya.
https://nasional.kompas.com/read/2021/08/03/08550021/pinangki-akhirnya-dikirim-ke-penjara-setelah-ketahuan-sebulan-tak-dieksekusi