Salin Artikel

Tanda Tanya yang Belum Terjawab dari Kerusuhan 27 Juli 1996...

JAKARTA, KOMPAS.com - Dua puluh lima tahun yang lalu, kerusuhan terjadi di kantor DPP Demokrasi Indonesia (PDI), Jalan Diponegoro, Jakarta Pusat.

Suasana begitu mencekam. Bentrokan massa aksi pembakaran gedung dan kendaraan terjadi sejak pagi hingga malam.

Kerusuhan 27 Juli 1996 atau Kudatuli itu terjadi karena pengambilalihan paksa kantor DPP PDI oleh massa pendukung Soerjadi (PDI hasil Kongres Medan).

Pendukung Soerjadi tak terima dengan keputusan Musyawarah Nasional (Munas) di Jakarta.

Munas menetapkan Megawati Soekarnoputri sebagai Ketua Umum PDI (kini Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan atau PDI-P).

Peristiwa itu masih menyisakan tanda tanya besar soal mengenai siapa pihak yang bertanggung jawab. Tak lama pasca-peristiwa, Komnas HAM membentuk Tim Pencari Fakta (TPF).

Dikutip dari Kompaspedia.kompas.id, berdasarkan hasil temuan TPF pada 12 Oktober 1996, tercatat 5 orang tewas, 149 cedera, dan 23 orang dinyatakan hilang. Komnas HAM tidak menutup kemungkinan jumlah korban lebih banyak.

Aparat keamanan menangkap 200 orang yang terlibat kerusuhan, 124 orang diantaranya adalah pendukung Megawati.

Total kerugian material diperkirakan mencapai Rp 100 miliar. Sebanyak 56 gedung, 197 mobil, bus maupun kendaraan bermotor terbakar.

Kesaksian Rosihan Anwar

Dalam buku Sejarah Kecil "Petite Historie" Indonesia jilid 1 (2009), jurnalis senior Rosihan Anwar mengisahkan sepenggal peristiwa Kudatuli.

Rosihan berusia 74 tahun ketika kerusuhan terjadi. Dia tak lagi bekerja sebagai wartawan surat kabar, tetapi naluri jurnalistik membuatnya mendekat ke kantor PDI.

Jarak ke lokasi hanya beberapa ratus meter dari kediamannya di Jalan Surabaya Nomor 13, Menteng, Jakarta Pusat.

Pagi hari biasanya waktu Rosihan untuk berolahraga jalan kaki. Namun, hari itu ia sedang meliburkan diri.

Sekitar pukul 07.00 WIB, di depan rumahnya lewat barisan pasukan Gegana berseragam hitam. Mereka tak membawa senjata laras panjang, hanya tongkat yang sering dipakai polisi saat menghadapi kerumunan demonstrasi.

Aparat berbaris tanpa bersuara, tetapi mantap menuju ujung Jalan Surabaya menyilangi Jalan Diponegoro di perempatan.

"Berapa banyak jumlahnya? No idea, tidak bisa kira," tulis Rosihan.

Di pinggir jalan banyak penduduk berkerumun jadi penonton. Mereka menyaksikan penyerbuan terhadap markas PDI.

Waktu itu, sementara waktu Pemerintahan Soeharto menerima kenyataan PDI-P dipimpin oleh putri Soekarno.

Namun, kehadiran Megawati sebagai ketua umum partai lama-lama tampak menjadi simbol kuat perlawan terhadap Orde Baru.

Pada Juni 1996, Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) merekayasa suatu kongres luar biasa PDI untuk menurunkan Megawati sebagai ketua umum. Soerjadi tampil untuk menggantikan.

Tadinya, Soerjadi juga tidak dipercaya oleh Soeharto, tetapi pada pertengahan tahun 1996, tampaknya dia kurang berbahaya ketimbang Megawati.

Tindakan pemerintah itu ditolak Megawati dan para pendukungnya. Ia menempuh jalan hukum, mengadukan pemerintah yang telah melakukan intervensi.

Megawati mempertahankan kontrol atas markas partainya. Sikap menantang itu menarik banyak perhatian.

Tiap hari di markas PDI digelar mimbar bebas. Kaum aktivis pro-demokrasi, kalangan lembaga swadaya masyarakat (LSM), wong cilik di kota, semua mendukung Megawati.

Keributan yang terjadi di kantor PDI di Jalan Diponegoro pada 27 Juli pagi itu merupakan buntut dari dualisme.

Rosihan menuturkan, saat menuju perempatan lewat jalan kecil di tepi kali, ia sempat dicegat seorang mahasiswa yang memperkenalkan diri sebagai putra Abdullah Alamudi, wartawan harian Pedoman awal 1970-an.

Mahasiswa itu mengatakan kepadanya telah memanjat sebuah pohon di tepi jalan dan dari sana melihat mobil-mobil ambulans mengangkut banyak korban yang tewas di markas PDI.

"Berapa banyaknya dia tidak tahu. Bagaimana mengecek kebenaran informasi tersebut?" katanya.

Rosihan pun tiba di dekat ujung Jalan Surabaya, depan rumah nomor 39. Di situ, ada sejumlah wartawan dalam dan luar negeri. Para wartawan sempat disetop oleh seorang perwira Polri.

Namun, Rosihan meminta izin supaya wartawan boleh maju sedikit lagi agar dapat melihat lebih jelas.

"Akhirnya perwira Polri yang tahu saya adalah wartawan senior, mengizinkan insan-insan pers maju lagi 25 meter," tutur Rosihan. Mereka sampai di sebuah jembatan kecil yang melintangi kali Jalan Surabaya.

Dari situ, Rosihan dan para wartawan bisa memandang luar ke kiri. Di depan markas PDI, tampak laki-laki tegap berpakaian hitam dengan tanda gambar banteng, dengan potongan rambut cepak, beramai-ramai melemparkan batu ke rumah yang sedang terbakar.

Serangan itu dibalas dengan sengit oleh pengikut Megawati dengan timpukan batu pula. Berdasarkan cerita yang Rosihan dengar dari seorang warga, gerombolan laki-laki penyerang markas PDI itu keluar dari bus-bus yang datang dan berhenti sejak pagi di jalan sekitar bioskop terdekat, Megaria.

Asap mengepul dari atap yang gentengnya sudah pecah-pecah. Rosihan tak melihat ada mobil pemadam kebakaran di sekitar situ. "Lama-lama rumah ini bisa terbakar habis," ucapnya.

Pasca-insiden itu, Megawati menyerukan pendukungnya untuk tenang sembari menunggu hasil gugatan terhadap pemerintah dan Soerjadi di pengadilan. Megawati akhirnya kalah dalam gugatan itu. Kekalahan itu justru menguatkan posisinya dalam kontestasi politik.

PDI Perjuangan (PDI-P) yang dibentuknya menang dalam pemilu dan ia menjadi wakil presiden bagi Abdurrahman Wahid (Gus Dur).

Memilih diam

Pada era pemerintahan Gus Dur, penyelidikan Kudatuli kembali dibuka. Namun, masalah teknis pembuktian yang rumit membuat penyelidikan 27 Juli 1996 sangat lambat.

Soerjadi dan sejumlah orang lainnya sempat dijadikan tersangka dan ditahan, tetapi kasusnya menggantung tak kunjung dilimpahkan ke kejaksaan.

Setelah menjadi presiden pada 2001, Megawati pun tetap memilih diam. Diduga ada pertentangan kepentingan yang dihadapi Mega menyangkut insiden 27 Juli 1996.

Menurut Peter Kasenda dalam Peristiwa 27 Juli 1996: Titik Balik Perlawanan Rakyat (2018) Megawati dihadapkan pada kebutuhan untuk memelihara demokrasi dan stabilitas pemerintahan yang sedang dibangunnya.

Pertentangan kepetingan antara kebutuhan dukungan militer dan tuntutan korban serta keluarga korban membuat Megawati diam dan memilih menjaga hubungan baik dengan militer.

Bahkan, Sutiyoso yang menjabat Panglima Kodam Jaya pada 1996, didukung Megawati menjadi Gubernur DKI Jakarta.

Pengadilan koneksitas yang digelar pada era Megawati hanya mampu membuktikan seorang buruh bernama Jonathan Marpaung yang terbukti mengerahkan massa dan melempar batu ke kantor PDI. Ia dihukum dua bulan 10 hari.

Sementara dua perwira militer yang disidang, yaitu Kol Czi Budi Purnama (mantan Komandan Detasemen Intel Kodam Jaya) dan Letnan Satu (Inf) Suharto (mantan Komandan Kompi C Detasemen Intel Kodam Jaya), divonis bebas.

https://nasional.kompas.com/read/2021/07/27/15343301/tanda-tanya-yang-belum-terjawab-dari-kerusuhan-27-juli-1996

Terkini Lainnya

Orang Dekat Prabowo-Jokowi Diprediksi Isi Kabinet: Sjafrie Sjamsoeddin, Dasco, dan Maruarar Sirait

Orang Dekat Prabowo-Jokowi Diprediksi Isi Kabinet: Sjafrie Sjamsoeddin, Dasco, dan Maruarar Sirait

Nasional
Prabowo Diisukan Akan Nikahi Mertua Kaesang, Jubir Bilang 'Hoaks'

Prabowo Diisukan Akan Nikahi Mertua Kaesang, Jubir Bilang "Hoaks"

Nasional
Momen Jokowi dan Menteri Basuki Santap Mie Gacoan, Mentok 'Kepedasan' di Level 2

Momen Jokowi dan Menteri Basuki Santap Mie Gacoan, Mentok "Kepedasan" di Level 2

Nasional
Ditolak Partai Gelora Gabung Koalisi Prabowo, PKS: Jangan Terprovokasi

Ditolak Partai Gelora Gabung Koalisi Prabowo, PKS: Jangan Terprovokasi

Nasional
Kapolri Bentuk Unit Khusus Tindak Pidana Ketenagakerjaan, Tangani Masalah Sengketa Buruh

Kapolri Bentuk Unit Khusus Tindak Pidana Ketenagakerjaan, Tangani Masalah Sengketa Buruh

Nasional
Kapolri Buka Peluang Kasus Tewasnya Brigadir RAT Dibuka Kembali

Kapolri Buka Peluang Kasus Tewasnya Brigadir RAT Dibuka Kembali

Nasional
May Day 2024, Kapolri Tunjuk Andi Gani Jadi Staf Khusus Ketenagakerjaan

May Day 2024, Kapolri Tunjuk Andi Gani Jadi Staf Khusus Ketenagakerjaan

Nasional
Jumlah Menteri dari Partai di Kabinet Prabowo-Gibran Diprediksi Lebih Banyak Dibanding Jokowi

Jumlah Menteri dari Partai di Kabinet Prabowo-Gibran Diprediksi Lebih Banyak Dibanding Jokowi

Nasional
Menparekraf Ikut Kaji Pemblokiran 'Game Online' Mengandung Kekerasan

Menparekraf Ikut Kaji Pemblokiran "Game Online" Mengandung Kekerasan

Nasional
Jokowi di NTB Saat Buruh Aksi 'May Day', Istana: Kunker Dirancang Jauh-jauh Hari

Jokowi di NTB Saat Buruh Aksi "May Day", Istana: Kunker Dirancang Jauh-jauh Hari

Nasional
Jokowi di NTB Saat Massa Buruh Aksi 'May Day' di Istana

Jokowi di NTB Saat Massa Buruh Aksi "May Day" di Istana

Nasional
Seorang WNI Meninggal Dunia Saat Mendaki Gunung Everest

Seorang WNI Meninggal Dunia Saat Mendaki Gunung Everest

Nasional
Kasus Korupsi SYL Rp 44,5 Miliar, Bukti Tumpulnya Pengawasan Kementerian

Kasus Korupsi SYL Rp 44,5 Miliar, Bukti Tumpulnya Pengawasan Kementerian

Nasional
Keterangan Istri Brigadir RAT Beda dari Polisi, Kompolnas Tagih Penjelasan ke Polda Sulut

Keterangan Istri Brigadir RAT Beda dari Polisi, Kompolnas Tagih Penjelasan ke Polda Sulut

Nasional
Jokowi: Selamat Hari Buruh, Setiap Pekerja adalah Pahlawan

Jokowi: Selamat Hari Buruh, Setiap Pekerja adalah Pahlawan

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke