Sosok kelahiran Jepara pada 21 April 1879 itu selama ini juga dijadikan simbol bahwa perempuan memiliki hak untuk mengenyam pendidikan dan meraih cita-citanya.
Namun, tahukah Anda bahwa Kartini sebetulnya tidak pernah mencapai cita-citanya, yakni datang ke Jakarta dan menempuh pendidikan menjadi seorang dokter.
Perjuangan Kartini meraih cita-citanya itu tertuang dalam suratnya yang dikutip dari buku Surat-surat Kartini. Renungan tentang dan untuk Bangsanya (1979) yang ditulis Sulastin Sutrisno.
Melalui surat kepada Nyonya MCE Ovink Soer, sahabat pena Kartini, Kartini mengungkapkan niatnya menjadi dokter.
"Nah, apabila sekarang kami tidak ke negeri Belanda, bolehkah saya ke Betawi untuk belajar jadi dokter?" tulis Kartini dalam suratnya.
Dalam lanjutan suratnya, Kartini menggambarkan kultur patriarki di Jawa yang dinilai menghambat kemajuan perempuan.
Saat itu, memang tidak lazim bagi perempuan untuk pergi ke tempat yang jauh guna menempuh pendidikan seperti yang diimpikan Kartini.
Ayah Kartini, Raden Mas Adipati Ario Sosroningrat, juga tidak bisa begitu saja mengabulkan keinginan Kartini.
"Bahwa saya tidak boleh lupa, bahwa saya seorang orang Jawa, bahkan sekarang belum mungkin. Apabila sekarang belum dapat, setidaknya saya akan mengalami kesulitan yang luar biasa, mungkin sebab yang pertama-tama karena saya perempuan."
Kartini tidak menyerah meski cita-citanya menjadi dokter kandas. Ia kemudian diizinkan oleh sang ayah untuk menjadi guru.
Selayaknya menjadi dokter, dengan menjadi guru, Kartini pun dapat menjadi mandiri dan mengabdi kepada masyarakat.
"Aduh! Ibu, seolah-olah langit membelah. Kenikmatan yang tak terhingga tampak kepada saya, membuat mata silau, membuat saya mabuk, ketika tak lama kemudian saya mendengar Ayah berkata: 'itu bagus, itu baik sekali! Itu boleh kamu kerjakan!"
Dalam suratnya, Kartini mengungkapkan, selama berbulan -bulan ia merasa pedih hati dan bimbang dalam menentukan sikap.
Bahkan, ia menyebut dirinya sebagai pribadi yang lemah dan pengecut karena tidak mempunyai keberanian untuk melukai hati sang ayah.
Akan tetapi, Kartini meyakini, tercapai atau tidak keinginannya itu hanya bergantung pada dirinya sendiri dan memang dibutuhkan keberanian dan kecakapan untuk mewujudkan harapannya.
"Karena saya tidak dapat, tidak mau merendahkan diri, membiarkan hati perempuan saya diinjak-injak yang merupakan nilai saya sebagai perempuan, sebagai manusia; saya harus menolak rencana mereka."
"Saya berkewajiban moril terhadap ketetapan hati saya, yang tidak dapat saya tahan diam. Perjuangan batin memang cukup berat."
Kartini memang telah lama tiada tetapi sosok Kartini terus dijadikan inspirasi bagi perempuan-perempuan Indonesia untuk meraih cita-citanya.
Saat ini, memang sudah jamak ditemukan perempuan yang dapat memenuhi impiannya, tetapi tidak dapat dipungkiri pula bahwa masih ada perempuan masih sulit mendapat persamaan hak dengan laki-laki.
Selama itu masih terjadi, perjuangan Kartini dalam meraih cita-cita masih terus relevan di negeri ini.
https://nasional.kompas.com/read/2021/04/21/09311561/kandasnya-cita-cita-kartini-dan-perjuangannya-yang-relevan-hingga-kini