JAKARTA, KOMPAS.com - Pengamat komunikasi politik dari Universitas Indonesia (UI) Irwansyah menilai, polemik dan perbedaan pendapat antara lembaga pemerintah dalam kebijakan impor 1 juta ton beras merupakan proses demokrasi yang baik.
Irwansyah mengatakan, adu argumentasi antarlembaga pemerintah itu menunjukkan bahwa masing-masing lembaga menjalankan fungsi untuk kepentingan masyarakat secara sektoral.
"Perbedaan pendapat dalam komunikasi politik dan kebijakan adalah hal yang biasa. Narasi yang berkembang memberikan kesempatan kepada publik untuk menilai bahwa sektoral dalam pemerintah masih terjadi," ujar Irwansyah kepada Kompas.com, Senin (22/3/2021).
Lantas ke mana seharusnya kebijakan pemerintah berpihak?
Dalam polemik impor beras, Irwansyah mengatakan, klaim yang paling benar adalah keberpihakan pada kesejahteraan masyarakat.
Namun, ia menjelaskan, masing-masing lembaga tersebut memiliki keberpihakan pada kesejahteraan kelompok masyarakat yang berbeda-beda.
"Nah sejahtera dari masyarakat yang mana ini perlu dibuka, apakah petani, pedagang, penjual, distributor, atau konsumen," katanya.
Menurut Irwansyah, Kementerian Pertanian memiliki keberpihakan pada petani. Namun Kementerian Perdagangan memiliki keberpihakan pada pedagang.
"Bulog berpihak pada penjual dan distributor. DPR memiliki keberpihakan pada konstituen atau pemilih," lanjut dia.
Sehingga, menurut Irwansyah, perbedaan pendapat itu tidak menjadi masalah. Sebab dalam demokrasi yang diinginkan oleh publik bukan sekadar komunikasi tentang keputusan suatu kebijakan.
Sebaliknya, publik membutuhkan komunikasi yang menggambarkan proses pengambilan kebijakan tersebut.
"Pemerintah terdiri dari individu-indicidu yang memiliki pengalaman dan referensi yang berbeda-beda. Dalam proses demokrasi yang dinamis, tak mudah menginginkan pemerintah menyuarakan keputusan yang solid," tutur Irwansyah.
"Apalagi konunikasi yang diinginkan publik adalah proses menuju suatu keputusan, bukan akhi dari keputusan," sambung dia.
Irwansyah berpendapat polemik impor beras ini baik jika menjadi wacana yang diperdebatkan, sebab merepresentasikan proses demokrasi yang menggambarkan masyarakat Indonesia yang majemuk.
"Sehingga lebih baik diskursus ini bisa berkembang sebagai bentuk demokrasi untuk menggambarkan bahwa masyarakat Indonesia termasuk dalam sisi pemerintah, merupakan representasi masyarakat yang majemuk," pungkasnya.
Adapun polemik kebijakan impor 1 juta ton beras terjadi antara Kementerian Perdagangan (Kemendag), Bulog, hingga para kepala daerah.
Menteri Perdagangan Muhammad Lurfi berpandangan impor beras perlu dilakukan untuk menjamin cadangan beras pemerintah. Ia menyebut kebijakan diambil karena serapan beras dari Perum Bulog memprihatinkan.
Sementara itu Direktur Utama Perum Bulog Budi Waseso mengklaim stok cadangan beras pemerintah masih aman.
Sebab saat ini menurut catatan Bulog, masih terdapat 883.585 ton cadangan beras pemerintah. Apalagi ditambah dengan musim panen beras yang masih berjalan hingga April.
Dengan kondisi ini, Budi yakin, cadangan beras pemerintah akan mencapai lebih dari 1 juta ton.
Sementara itu Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo menilai bahwa kebijakan impor beras terlalu prematur dilakukan saat ini. Ia meminta pemerintah pusat untuk menunggu masa panen selesai.
Hal senada juga diungkapkan Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil. Ketimbang melakukan impor, pemerintah pusat disarankan membeli beras yang berlimpah dari Jawa Barat.
Gubernur Jawa Timur Khofifah juga menegaskan, produksi beras di wilayahnya cukup bahkan surplus hingga akhir Mei 2021.
https://nasional.kompas.com/read/2021/03/22/17005781/polemik-impor-beras-ke-mana-seharusnya-kebijakan-pemerintah-berpihak