Pasalnya, mereka khawatir kritik yang disampaikan berujung pada kasus hukum dengan dalih melanggar Undang-undang No. 19 Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE).
Undang-undang ITE di era reformasi selama ini menjadi momok bagi masyarakat dalam menyampaikan pendapatnya lantaran banyak kasus yang terjadi.
Beberapa orang yang mulanya menyampaikan kritik kemudian harus berhadapan dengan polisi karena dijerat UU ITE.
Selain dijerat UU ITE, beberapa aktivis yang mengkritik pemerintah juga dipanggil polisi dengan alasan berstatus sebagai saksi.
Situasi yang sedemikian rupa membuat masyarakat semakin pesimis menanggapi permintaan Jokowi agar masyarakat lebih aktif dalam menyampaikan kritik kepada pemerintah.
Berikut sejumlah aktivis yang harus berurusan dengan polisi karena kritiknya terhadap pemerintah:
1. Dandhy Dwi Laksono
Sutradara, aktivis, dan jurnalis Dandhy Dwi Laksono ditangkap polisi pada September 2019. Dandy ditangkap lantaran twitnya di twitter dianggap menebarkan kebencian berdasarkan SARA.
Secara spesifik, Dandhy dituding melanggar Pasal 28 Ayat (2) jo Pasal 45A Ayat (2) Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik.
Berdasarkan penelusuran Kompas.com, pada 23 September 2019, Dandhy memang aktif me-retweet unggahan yang mengangkat soal kisruh di Papua.
Ada juga beberapa twitnya yang khusus membahas soal peristiwa tersebut. Ia juga membuat utas (thread) dengan mengunggah beberapa foto korban yang jatuh dalam kerusuhan Papua.
Dalam sejumlah twitnya tersebut Dandhy menyampaikan kondisi kerusuhan di Papua yang merupakan buntut dari perlakukan rasialis terhadap mahasiswa Papua di Surabaya, Jawa Timur.
Dandhy Dwi Laksono dikenal publik sebagai pendiri WatchDoc, rumah produksi yang menghasilkan film-film dokumenter dan jurnalistik.
Sebagai sutradara, dia pernah membesut sejumlah film dokumenter yang dianggap kontroversial seperti "Sexy Killers" dan "Rayuan Pulau Palsu".
Anggota Aliansi Jurnalis Independen ini juga dikenal sebagai aktivis yang kerap mengkritik pemerintah, termasuk Presiden Joko Widodo.
2. Ananda Badudu
Musisi sekaligus eks wartawan Tempo juga pernah ditangkap polisi akibat penggalangan dana untuk mendukung aksi protes mahasiswa terhadap revisi Undang-undang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan sejumlah rancangan undang-undang bermasalah lainnya.
Aksi besar-besaran yang dilakukan mahasiswa itu berlangsung di depan Gedung DPR, Senayan, Jakarta pada September 2019.
Ananda diketahui menginisasi penggalangan dana publik untuk mendukung gerakan mahasiswa melalui situs crowdfunding, Kitabisa.com. Dalam dua hari, dana yang dihimpun lebih dari Rp 100 juta, melampaui target mereka.
Saat polisi datang ke tempat tinggalnya untuk melakukan penangkapan, Ananda sedang tidur.
Tiba-tiba, ada tamu yang menggedor-gedor pintu kamarnya. Rupanya, tamu yang berjumlah empat orang itu adalah penyidik Polda Metro Jaya.
Mereka dipimpinan oleh polisi bernama Eko. Eko sempat menujukkan kartu dan lencana polisi.
Sedangkan, tiga orang lainnya tidak mengenakan seragam dan menunjukkan identitas
Eko kemudian menunjukkan surat penangkapan kepada Ananda atas dugaan keterlibatan dalam aksi demonstrasi di depan Gedung DPR/ MPR RI.
"Jam 04.55 WIB, tim yang terdiri empat orang membawa Nanda ke kantor Resmob Polda Metro Jaya dengan mobil Toyota Avanza putih didampingi kawan," ujar Manajer Kampanye Amnesty International Indonesia Puri Kencana.
3. Feri Amsari
Dosen Universitas Andalas sekaligus pegiat antikorupsi Feri Amsari juga pernah dipanggil polisi sebagai saksi dalam kasus perusakan Gedung DPRD Sumatera Barat akibat protes mahasiswa yang menolak revisi UU KPK dan R-KUHP yang berakhir dengan kericuhan.
Feri seringkali tampil di media massa untuk menyuarakan penolakan terhadap sejumlah revisi dan rancangan undang-undang. Salah satunya, UU KPK hasil revisi.
Sebelum aksi unjuk rasa, Feri sempat mengimbau mahasiswa turun ke jalan untuk memprotes RUU yang dinilai tidak berpihak pada kepentingan masyarakat. Imbauan itu juga ia lontarkan melalui akun media sosialnya.
Feri merasa ajakan itu juga menjadi alasan polisi untuk memanggil dirinya. "Saya waktu itu mengajak teman-teman turun aksi kuliah di DPRD, mungkin karena itu juga," ujar Feri.
Feri menduga pemanggilan tersebut bertujuan untuk meredam aksi demonstrasi lanjutan. Pasalnya ia mendengar beberapa simpul gerakan aksi massa juga akan dipanggil oleh kepolisian.
"Saya pikir targetnya memang agar demonstrasi berhenti kemudian beberapa simpul demonstrasi itu juga mau dipanggil," kata Feri saat dihubungi, Kamis (10/10/2019).
Adapun dalam kasus perusakan Gedung DPRD Sumatera Barat, polisi sudah menetapkan tiga tersangka.
Awalnya, Polda Sumatera Barat menetapkan TI (19), oknum mahasiswa yang menurunkan foto Presiden Jokowi sebagai tersangka.
Lalu, polisi menambah dua orang lainnya DA (19) dan JG (19) sebagai tersangka perusakan Gedung DPRD Sumatera Barat. Mereka dijerat Pasal 170 KUHP tentang Perusakan, dengan ancaman hukuman maksimal 6 tahun, 6 bulan.
https://nasional.kompas.com/read/2021/02/10/14555701/saat-jokowi-minta-dikritik-dan-nasib-aktivis-yang-berhadapan-dengan-polisi