Adapun PP tersebut berisi tentang tata cara pelaksanaan tindakan kebiri kimia untuk pelaku kasus kekerasan seksual terhadap anak.
Nurina menyebut, kekerasan seksual terhadap anak adalah kejahatan yang mengerikan. Namun, menurut dia, menghukum pelaku dengan kebiri kimia hanya memperparah kekejaman.
“Kebiri kimia paksa melanggar larangan mutlak penyiksaan, perlakuan atau hukuman yang kejam, tidak manusiawi dan merendahkan martabat di bawah hukum hak asasi manusia internasional.” kata Nurina dalam keterangan tertulis yang diterima Kompas.com, Senin (4/1/2021).
“Selain itu, tidak ada bukti bahwa ancaman kebiri kimia efektif untuk mencegah tindak kekerasan seksual terhadap anak.” ujar Nurina.
Nurina berpendapat, sejak Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) yang mengizinkan kebiri kimia dikeluarkan oleh Presiden dan disahkan oleh DPR menjadi undang-undang pada tahun 2016, kasus pelecehan seksual terhadap anak tidak juga menurun.
Berdasarkan catatan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK), Nurina menyebut, setidaknya ada 350 kasus kekerasan seksual terhadap anak di bawah umur pada 2019.
Data itu, kata dia, lebih tinggi dibandingkan dengan tahun 2016 yakni 25 kasus.
Oleh karena itu, Amesty International mendesak pemerintah untuk mencabut amandemen undang-undang yang mengizinkan kebiri kimia.
Amnesty berharap pemerintah fokus pada upaya yang benar-benar mencegah dan menangani kejahatan seksual seperti mengesahkan RUU Pemberantasan Kekerasan Seksual (RUU PKS).
Apalagi, Nurina menuturkan, Indonesia telah meratifikasi Konvensi PBB yang menentang penyiksaan dan perlakuan atau hukuman lain yang kejam, tidak manusiawi atau merendahkan martabat manusia atau Convention against Torture and Other Cruel, Inhuman or Degrading Treatment or Punishment (CAT).
Selain itu juga, ada Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik atau International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR).
“Larangan penyiksaan juga diatur dalam Konstitusi negara. Penyiksaan dan perlakuan buruk lainnya juga dilarang keras menurut hukum internasional,” tutur Nurina.
Beleid yang diteken Presiden Joko Widodo pada 7 Desember 2020 tersebut merupakan peraturan turunan dari Pasal 81A ayat 4 dan Pasal 82A ayat 3 Undang-Undang No 17 Tahun 2016 tentang Perlindungan Anak.
Dalam Pasal 2 ayat 1 di PP tersebut, pelaku persetubuhan terhadap anak yang telah memiliki kekuatan hukum tetap bisa dikenakan tindakan kebiri kimia, pemasangan alat pendeteksi elektronik, dan rehabilitasi.
Sementara itu, Pasal 2 ayat 2 menyatakan pelaku perbuatan cabul terhadap anak yang telah memiliki kekuatan hukum tetap dapat dikenakan tindakan pemasangan alat pendeteksi elektronok dan rehabilitasi.
Kendati demikian, berdasarkan Pasal 4, pelaku persetubuhan atau pencabulan yang masih berstatus anak tak dikenakan tindakan kebiri kimia dan pemasangan alat pendeteksi elektronik.
Teknis pelaksanaan tindakan kebiri kimia diatur dalam Pasal 6. Pasal tersebut menyatakan tindakan kebiri kimia diawali dengan tahapan penilaian klinis.
Dalam Pasal 7 ayat 2, penilaian klinis terdiri dari proses wawancara klinis dan psikiatri, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang.
Tindakan kebiri kimia dikenakan kepada pelaku persetubuhan paling lama dua tahun dan dilakukan di rumah sakit milik pemerintah atau rumah sakit daerah yang ditunjuk.
Pelaksanaan kebiri kimia dilakukan setelah pelaku persetubuhan selesai menjalani pidana pokok berupa hukuman penjara.
Namun, berdasarkan Pasal 10 ayat 3, pelaku persetubuhan terhadap anak bisa terbebas dari tindakan kebiri kimia bila analisis kesehatan dan psikiatri menyatakan tidak memungkinkan.
Kemudian, pengaturan teknis pemasangan alat pendeteksi elektronik diatur dalam Pasal 14-17.
Pemasangan alat pendeteksi elektronik berlangsung saat pelaku persetubuhan atau pencabulan terhadap anak selesai menjalani pidana pokok dan berlaku paling lama dua tahun.
Lalu, beleid tersebut juga mengatur tentang tindakan rehabilitasi yang diberikan kepada pelaku persetubuhan atau pencabulan terhadap anak.
Rehabilitasi yang diberikan berupa rehabilitasi psikiatrik, sosial, dan medis.
Selain itu, PP No 70 Tahun 2020 juga mengatur pengumuman identitas pelaku kekerasan seksual terhadap anak.
Pengumuman identitas tersebut dilakukan setelah pelaku selesai menjalani pidana pokok.
Pasal 21 ayat 2 menyatakan, pengumuman identitas dilakukan lewat papan pengumuman, laman resmi kejaksaan, media cetak, media elektronik, dan media sosial.
Adapun Pasal 22 menyatakan, pengumuman identitas pelaku kekerasan seksual terhadap anak paling sedikit memuat nama pelaku, foto pelaku terbaru, NIK atau nomor paspor bagi WNA, tempat tanggal lahir, jenis kelamin, dan alamat domisili terakhir.
https://nasional.kompas.com/read/2021/01/05/06164881/amnesty-nilai-kebiri-kimia-hukuman-yang-tak-efektif