Salin Artikel

Survei: Ketakutan Terhadap Covid-19 Bisa Ubah Perilaku Jadi Lebih Baik

"Pasalnya, jika tidak diolah dengan baik, ketakutan hanya akan jadi ketakutan saja, tidak menjadi aset untuk mengolah perubahan perilaku,"ujarnya.

Hal itu ia sampaikan dalam acara Dialog Produktif yang diselenggarakan Komite Penanganan Covid-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional (KPCPEN), Rabu (04/11/2020).

Menurut Rizky, memanfaatkan ketakutan agar bisa menjadi perilaku baik itu telah dibuktikan  survei AC Nielsen bekerjasama dengan UNICEF.

"Survei menunjukkan, 69,6 persen responden di 6 kota besar di Indonesia mengaitkan Covid-19 dengan aspek negatif," kata Rizky seperti dimuat Covid19.go.id.

Adapun aspek negatif yang dimaksud Rizky seperti, berbahaya, menular, darurat, mematikan, menakutkan, khawatir, wabah, pandemi, dan penyakit.

"Dari survei itu, mayoritas responden yang mengasosiasikan Covid-19 dengan aspek negatif, bisa mengarahkan perilaku untuk bertindak positif dalam mencegah penularannya," ujarnya.

Rizky menuturkan, perilaku positif itu dilakukan masyarakat dengan memakai masker, menjaga jarak aman, dan mencuci tangan (3M) sesuai rekomendasi dari para ahli dan dokter.

"Hal itu dibuktikan dengan survei yang menunjukkan 31,5 persen dari seluruh responden melakukan seluruh perilaku 3M secara disiplin," kata Rizky.

Kemudian, sambung Rizky, 36 persen dari total jumlah responden melakukan dua dari perilaku 3M. Sementara itu, 23,2 persen masyarakat melakukan 1 dari perilaku 3M.

"Sedangkan responden yang sama sekali tidak patuh melakukan 3M hanya 9,3 persen," kata Rizky.

Dalam acara tersebut, Rizky juga mengungkapkan, 71 persen responden berpikir penularan Covid-19 melalui orang batuk dan bersin.

"Hanya 23 hingga 25 persen responden yang menyebutkan penularan Covid-19 melalui berbicara dan bernafas," kata Rizky.

Rizky menegaskan, untuk mengedukasi masyarakat mengenai pentingnya perubahan perilaku ini, perlu media penyaluran yang tepat.

"Sumber informasi yang paling dipercayai masyarakat mengenai Covid-19 ini adalah media massa televisi, kemudian diikuti koran, radio, media sosial, WhatsApp Group, pemberitaan media online, dan situs internet," paparnya.

Rizky menambahkan, tokoh masyarakat dan tokoh agama masih didengarkan oleh masyarakat dalam penyampaian informasi mengenai Covid-19 ini.

Oleh karenanya, untuk penanganan Covid-19 masyarakat harus mengakses sumber-sumber yang bisa dipertanggungjawabkan.

"Untuk informasi Covid-19 sudah ada website, covid19.go.id yang di dalamnya terdapat fitur hoaks buster untuk memastikan informasi tersebut benar atau hoaks.” ujar Rizky.

Pada kesempatan yang sama, Konsultan UNICEF, Risang Rimbatmaja menuturkan, jika dianalisa secara individual, 47 persen masyarakat telah menerapkan perilaku jaga jarak.

"Tak hanya itu, 71 persen memakai masker, dan 72 persen sudah mencuci tangan," ujar Risang.

Menurut Risang, khusus untuk jaga jarak, ternyata ada aspek norma sosial yang berperan di dalamnya.

"Peran tersebut misalnya merasa tidak enak menjauh dari orang lain atau berpikir bahwa semua orang juga tidak menjaga jarak," ujar Risang.

Risang juga mengatakan, konsep kesalahan persepsi orang yang kelihatan sehat, dianggap tidak bisa menularkan penyakit juga jadi faktor rendahnya penerapan perilaku menjaga jarak.

“Kelihatannya konsep Orang Tanpa Gejala (OTG) masih belum betul-betul berada di benak masyarakat,” jelas Risang Rimbatmaja.

Untuk itu, masyarakat perlu mengetahui konsep OTG agar lebih disiplin dalam melakukan gerakan pencegahan.

https://nasional.kompas.com/read/2020/11/05/19400311/survei-ketakutan-terhadap-covid-19-bisa-ubah-perilaku-jadi-lebih-baik

Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke