Pemilu 5 kotak suara terjadi di tahun 2019, menggabungkan Pilpres, pemilihan anggota DPD, DPR RI, DPRD provinsi, serta DPRD kabupaten/kota.
"Pemilu lima kotak itu adalah penyelenggaraan praktik elektoral yang sangat berat, kompleks, rumit dan cenderung membuat pemilih tidak rasional," kata Titi dalam sebuah diskusi virtual, Kamis (15/10/2020).
Menurut Titi, pemilih menjadi tidak rasional di Pemilu 5 kotak suara karena atensi mereka hanya bertumpu pada Pilpres.
Dengan demikian, perhatian yang diberikan kepada pemilu legislatif menjadi minim.
Hal itu, kata Titi, dibuktikan dari tingginya jumlah surat surat suara tidak sah pada pemilihan DPD dan DPRD akibat tak dicoblos atau dicoblos lebih dari satu kali.
"Ini akibat distribusi isu yang tidak setara dan didominasi oleh Pilpres," ujarnya.
Selain itu, lanjut Titi, yang paling ironis adalah penyelenggara pemilu yang mengalami kelelahan. Pada Pemilu 2019, terdapat lebih dari 500 penyelenggara pemilu yang tutup usia.
Hal ini terjadi karena diduga penyelenggara mengalami kelelahan dalam penyelenggaraan pemilihan.
"Selain juga ini ada kontribusi dari kegagalan menangkap dampak teknis dari pemilihan 5 kotak," kata Titi.
Untuk mencegah terulangnya hal tersebut, Perludem mengusulkan agar pemilu digelar dalam dua model.
Pertama, pemilu serentak nasional untuk memilih presiden dan wakil presiden, anggota DPR dan DPD.
Kemudian, dua tahun pasca pemilu serentak nasional, dilakukan pemilu lokal yang menggabungkan pemilihan kepala daerah, anggota DPRD provinsi dan DPRD kabupaten/kota.
Mekanisme pemilu yang demikian dinilai lebih rasional dan dapat mengatasi persoalan-persoalan yang muncul ketika pemilu digelar membarengkan 5 kotak suara.
"Dan model ini adalah konstitusional karena dibenarkan oleh Putusan MK nomor 55/PUU-XVV/2019," kata dia.
https://nasional.kompas.com/read/2020/10/15/16044851/pemilu-5-kotak-suara-dinilai-membuat-pemilih-tak-rasional