Salin Artikel

Kasus Pembunuhan Munir Terancam Ditutup karena Kedaluwarsa

JAKARTA, KOMPAS.com - Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta Arif Maulana mengatakan, pemerintah memiliki waktu dua tahun lagi untuk menuntaskan kasus pembunuhan aktivis HAM, Munir Said Thalib, sebelum kasus tersebut melampaui masa penuntutan pidana atau kedaluwarsa.

Masa kedaluwarsa kasus Munir dimulai sehari setelah pembunuhan terjadi pada 7 September 2004. Berdasarkan Pasal 78 ayat (1) Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP), kejahatan yang diancam dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup tidak dapat dilakukan upaya penuntutan pidana sesudah 18 tahun.

"Dan yang menjadi perhatian kami adalah kasus ini yang jadi persoalan dua tahun, 2022, 18 tahun setelah kematian Munir 7 September 2004, kasus ini bisa jadi ditutup. Kenapa? Karena ada ketentuan kedaluwarsa. Ada problem kasus akan ditutup ketika dalam jangka waktu tertentu," kata Arif dalam diskusi secara virtual, Senin (7/9/2020).

Arif mengatakan, jika kasus Munir ditutup maka para pelaku yang menjadi auktor intelektualis dapat bebas dengan mudah. Akibatnya, kasus Munir yang tidak tuntas akan memperpanjang praktik impunitas di Indonesia.

"Kalau kasus ini dibiarkan dua tahun tidak tuntas, ini akan jadi preseden buruk bagi penegakan hukum dan HAM di Indonesia, selain itu akan memperpanjang daftar impunitas yang menjadi catatan kelam di Indonesia," ujar Arif.

Menurut Arif, semestinya kasus Munir bisa dituntaskan kejaksaan dan kepolisian dalam kurun dua tahun. Ditambah, Presiden Jokowi telah memberikan dukungan atas penuntasan kasus tersebut.

"Dan kalau kepolisian dan kejaksaan itu serius, kasus ini masih bisa dituntaskan, masih ada waktu dua tahun. Tetapi kita tidak tahu, apakah Presiden berani melakukan itu," pungkasnya.

Proses hukum terhadap orang yang dianggap terlibat dalam pembunuhan Munir memang telah dilakukan.

Pengadilan telah memberi vonis 14 tahun penjara kepada Pollycarpus Budihari Priyanto, yang saat itu merupakan pilot Garuda Indonesia. Vonis itu juga telah menjalani berbagai macam proses tingkatan peradilan.

Selain itu, pengadilan juga memvonis 1 tahun penjara kepada Direktur Utama Garuda Indonesia saat itu, Indra Setiawan. Dia dianggap menempatkan Pollycarpus di penerbangan itu.

Sejumlah fakta persidangan bahkan menyebut adanya dugaan keterlibatan petinggi Badan Intelijen Negara dalam pembunuhan ini.

Akan tetapi, tidak ada petinggi BIN yang dinilai bersalah oleh pengadilan. Pada 13 Desember 2008, mantan Deputi V BIN Mayjen Purn Muchdi Purwoprandjono yang menjadi terdakwa dalam kasus ini divonis bebas dari segala dakwaan.

Munir diketahui tewas setelah hasil otopsi menunjukkan ada jejak-jejak senyawa arsenik di dalam tubuhnya.

Sejumlah dugaan menyebut bahwa Munir diracun dalam perjalanan Jakarta-Singapura, atau bahkan saat berada di Singapura.

Pemberitaan Harian Kompas 8 September 2004 menyebutkan, Munir meninggal dalam penerbangan Garuda Indonesia GA-974 dari Jakarta ke Amsterdam melalui Singapura, atau sekitar dua jam sebelum pesawat mendarat di Bandara Schipol, Amsterdam, Belanda, pukul 08.10 waktu setempat.

Pesawat GA-974 berangkat dari Jakarta, Senin pukul 21.55, lalu tiba di Singapura hari Selasa pukul 00.40 waktu setempat.

Setelah itu, pesawat melanjutkan perjalanan ke Amsterdam pukul 01.50.

Namun, tiga jam setelah pesawat lepas landas dari Bandara Changi, seorang pramugara senior bernama Najib melapor kepada pilot Pantun Matondang bahwa Munir yang saat itu duduk di kursi nomor 40G sakit.

Ada seorang dokter yang duduk di kursi nomor 1J yang ikut dalam perjalanan tersebut kemudian menolongnya.

Akan tetapi, nyawa Munir tak bisa ditolong ketika dua jam menjelang pesawat akan mendarat di Bandara Schipol, Amsterdam.

https://nasional.kompas.com/read/2020/09/07/17323271/kasus-pembunuhan-munir-terancam-ditutup-karena-kedaluwarsa

Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke