"Kita tidak mampu merumuskan apa sebenarnya problem kita. Kita punya berbagai regulasi yang sebetulnya banyak menimbulkan masalah,” kata Taufan dalam sebuah webinar, Jumat (21/8/2020).
Taufan menyatakan, regulasi terkait persoalan agama semestinya diatur dalam Pasal 156 A Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP).
Namun, realitanya polisi sering juga mengenakan Undang-Undang tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.
Selain itu, Surat Edaran Kapolri No. SE/6/X/2015 tentang penanganan Ujaran Kebencian juga dijadikan acuan penegak hukum memproses persoalan yang berkaitan dengan agama.
"Jadi kadang-kadang enggak jelas batasannya, untuk kasus tertentu dianggap sebagai penodaan agama, untuk kasus lain tidak. Ada unsur diskriminasi juga, terutama antara mayoritas dan minoritas," tutur dia.
Taufan mencontohkan kasus seorang ibu bernama Meiliana yang memprotes kerasnya suara dari toa masjid. Menurut dia, kasus seperti itu semestinya tidak perlu dipidanakan.
"Seorang ibu-ibu yang protes karena ada toa mesjid yang keras di depan rumahnya, dipidana," kata dia.
"Memang perilaku Meiliana kurang sopan, tapi kan bukan berarti kurang sopan jadi dikriminalisasikan lalu dipidana," ujar Taufan.
Menurut dia, mudahnya proses hukum yang berkaitan dengan agama hanya membuat negara mengeluarkan banyak energi.
Bahkan, aparat keamanan harus mengeluarkan uang negara untuk menangani kasus yang semestinya tidak perlu dipidana.
"Setiap orang yang diproses hukum itu ada wewenang negara yang dikeluarkan, mulai dari proses pemeriksaan, penuntutan, peradilan, sampai kalau dia dipenjarakan hidupnya di dalam rutan dan LP, itu kan ditanggung oleh negara," ucap Taufan.
Menurut Taufan, dengan mudahnya seseorang dipidana akibat persoalan agama juga menambah permasalahan overcrowded di lapas dan rutan.
"Saya sebagai pembayar pajak enggak rela uang saya dipakai untuk itu, lebih bagus dipakai untuk biaya sekolah anak-anak," tutur dia.
https://nasional.kompas.com/read/2020/08/21/16413181/komnas-ham-nilai-regulasi-kerap-timbulkan-masalah-kebebasan-beragama