Hal ini diakibatkan oleh semakin masifnya penggunaan media sosial untuk berkampanye, utamanya dalam situasi pandemi Covid-19 seperti sekarang ini.
"Pilkada 2020 dengan situasi pandemi Covid-19 tentu kita sudah bisa memprediksi kampanye penggunaan media sosial akan lebih ramai, lebih banyak digunakan," kata Ratna dalam sebuah diskusi virtual yang digelar Kamis (13/8/2020).
"Nah, tentu potensi untuk terjadinya kampanye dengan ujaran kebencian juga akan semakin tinggi," tuturnya.
Ratna mengatakan, ujaran kebencian dan politisasi SARA banyak terjadi di Pilkada DKI 2018. Hal serupa juga masif terjadi saat Pemilu 2019 lalu.
Padahal, sebenarnya Undang-undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada telah mengatur larangan kampanye bermuatan ujaran kebencian dan SARA.
Pasal 69 huruf b secara tegas menyebutkan bahwa dalam kampanye dilarang menghina seseorang, agama, suku, ras, dan golongan calon kepala daerah dan atau partai politik.
Kemudian, Pasal 69 huruf c juga melarang kampanye yang menghasut, memfitnah, dan mengadu domba partai politik, perseorangan, dan atau kelompok masyarakat.
Sanksi terhadap perbuatan ini diatur dalam Pasal 187 Ayat (2). Orang yang dengan sengaja melanggar ketentuan di atas dapat dipidana penjara paling singkat 3 bulan atau paling lama 18 bulan dan atau denda paling sedikit Rp 600.000 dan paling banyak Rp 6.000.000.
Namun demikian, menurut Ratna, pada praktiknya pengusutan dugaan kampanye bermuatan ujaran kebencian dan politisasi SARA kerap kali terkendala.
Kendala itu salah satunya diakibatkan karena perbedaan persepsi antar stakeholder dalam memaknai konten ujaran kebencian dan SARA.
Sehingga, kerap kali, dalam menangani dugaan pelanggaran kampanye, Bawaslu harus meminta pendapat ahli untuk menerjemahkan maksud dari ujaran kebencian dan politisasi SARA itu sendiri.
Kendala lain yakni proses pembuktian yang panjang dalam menangani kasus ini. Padahal, dalam menangani suatu perkara, Bawaslu memiliki keterbatasan waktu.
"Dalam beberapa pengalaman kami di dalam melakukan penanganan pelanggaran tindak pidana pemilihan tidak mudah untuk kita buktikan," ujar Ratna.
Meski begitu, Ratna mengaku pihaknya tetap berkomitmen untuk mencegah dan menindak kampanye bermuatan ujaran kebencian dan politisasi SARA pada Pilkada 2020.
Bawaslu menggandeng para tokoh agama dan mayarakat untuk melakukan pencegahan. Sementara dalam hal penindakan, Bawaslu bekerja sama dengan kepolisian dan kejaksaan.
"Kita memang berharap Pilkada tahun 2020 akan lebih baik dari Pemilu 2019 yang banyak diwarnai dengan isu-isu SARA," kata Ratna.
Untuk diketahui, Pilkada 2020 digelar di 270 wilayah di Indonesia, meliputi 9 provinsi, 224 kabupaten, dan 37 kota.
Semula, hari pemungutan suara Pilkada akan digelar pada 23 September. Namun, akibat wabah Covid-19, hari pencoblosan diundur hingga 9 Desember 2020.
Tahapan Pilkada lanjutan pasca penundaan telah dimulai pada 15 Juni 2020.
https://nasional.kompas.com/read/2020/08/13/20413091/ujaran-kebencian-di-pilkada-diprediksi-meningkat-ini-alasannya