Hal tersebut disampaikan Fickar menanggapi pedoman yang baru dikeluarkan Kejaksaan Agung terkait proses hukum bagi jaksa yang terlibat tindak pidana.
“Siapapun penegak hukum, polisi, jaksa, hakim atau advokat, jika berhadapan dengan hukum (karena melanggar hukum), maka hukum acara pidana (UU) berlaku memaksa,” kata Fickar ketika dihubungi Kompas.com, Selasa (11/8/2020).
“Tidak bisa dikalahkan oleh aturan internal atau aturan komunitas (PERMA, PERJA, PERKAP atau Peraturan Peradi) sekalipun,” sambung dia.
Diketahui, Kejagung menerbitkan Pedoman Nomor 7 Tahun 2020 tentang Pemberian Izin Jaksa Agung atas Pemanggilan, Pemeriksaan, Penggeledahan, Penangkapan dan Penahanan terhadap Jaksa yang Diduga Melakukan Tindak Pidana.
Menurutnya, pedoman tersebut termasuk peraturan internal yang berlaku di lingkungan kejaksaan.
Ia pun mencontohkan peraturan Perhimpunan Advokat Indonesia (Peradi) perihal advokat yang melanggar hukum.
“Meskipun ada aturan Peradi yang menyatakan pelanggaran oleh advokat harus diperiksa oleh Dewan Kehormatan atau Dewan Etik,” tutur Fickar.
“Tetapi KUHAP menyatakan bahwa penyidik ‘dengan paksa’ atas nama hukum (UU) dapat memanggil, menangkap dan menahan sang advokat,” imbuhnya.
Maka dari itu, Fickar berpandangan, penyidik tetap dapat memanggil secara paksa apabila jaksa yang melakukan pidana mangkir.
“Jika jaksa melakukan tindak pidana, maka penyidik (polisi dan KPK) tetap bisa memanggilnya secara paksa jika ia mangkir,” ucap Fickar.
Menurutnya, hal tersebut sekaligus bentuk penerapan UUD 1945 yang menyebutkan bahwa setiap warga negara memiliki kedudukan yang sama di mata hukum.
Diberitakan, Pedoman Nomor 7 Tahun 2020 itu ditandatangani oleh Jaksa Agung Sanitiar (ST) Burhanuddin tertanggal 6 Agustus 2020.
Pedoman tersebut menegaskan diperlukannya izin Jaksa Agung untuk memanggil hingga menahan jaksa yang diduga melanggar hukum.
"Jaksa yang diduga melakukan tindak pidana, maka pemanggilan, pemeriksaan, penggeledahan, penangkapan dan penahanan terhadap jaksa yang bersangkutan hanya dapat dilakukan atas izin Jaksa Agung," demikian bunyi poin nomor 1 pada Bab II pedoman tersebut.
Dalam pedoman tersebut, turut diatur tata cara memperoleh izin Jaksa Agung.
Instansi yang ingin melakukan pemanggilan hingga penahanan mengajukan permohonan yang dilengkapi dengan sejumlah dokumen persyaratan.
Asisten Umum Jaksa Agung, Asisten Khusus Jaksa Agung, atau pejabat lainnya yang ditunjuk Jaksa Agung memeriksa permohonan tersebut.
Pejabat yang ditunjuk juga dapat berkoordinasi dengan Jaksa Agung Muda untuk memperoleh informasi tentang jaksa yang akan dipanggil atau ditahan.
Jaksa Agung Muda bahkan dapat melakukan ekspose untuk mendapatkan informasi lebih lanjut terkait jaksa tersebut.
Pejabat yang ditunjuk kemudian memberi rekomendasi kepada Jaksa Agung untuk menolak permohonan izin apabila tidak lengkap, tidak sesuai, atau tidak memiliki urgensi.
Persetujuan atau penolakan permohonan izin Jaksa Agung disampaikan kepada instansi pemohon maksimal dua hari sejak diterbitkan.
Namun, izin Jaksa Agung tidak diperlukan untuk jaksa yang tertangkap tangan melakukan tindak pidana.
Untuk jaksa yang tertangkap tangan, kepala satuan kerja diinstruksikan mengambil langkah dan memberi pendampingan hukum terhadap jaksa tersebut.
https://nasional.kompas.com/read/2020/08/11/19523181/proses-hukum-jaksa-harus-izin-jaksa-agung-pakar-kuhap-tak-bisa-dikalahkan