Penetapan tiga orang tersangka itu merupakan hasil pengembangan penyidikan setelah KPK menetapkan dua orang tersangka, yaitu eks Kepala Divisi II PT Waskita Karya, Fathor Rachman dan eks Kepala Bagian Keuangan dan Risiko Divisi II PT Waskita Karya, Yuly Ariandi Siregar.
"Pada perkembangannya, kita bisa menemukan bukti yang cukup tentang keterlibatan tiga tersangka lain," kata Ketua KPK Firli Bahuri dalam konferensi pers yang disiarkan akun YouTube KPK, Kamis petang.
Tiga tersangka baru itu adalah eks Kepala Divisi III/Sipil/II PT Waskita Karya yang juga eks Dirut PT Jasa Marga, Desi Arryani; mantan Kepala Bagian Pengendalian pada Divisi III/Sipil/II PT Waskita Karya yang kini menjabat Dirut PT Waskita Beton Precast, Jarot Subana; serta mantan Kepala Proyek dan Kepala Bagian Pengendalian pada Divisi III/Sipil/II PT Waskita Karya, Fakih Usman.
KPK pun menahan lima orang tersangka tersebut mulai Kamis kemarin hingga 11 Agustus 2020 mendatang.
Fakih dan Yuly akan ditahan di Rutan Cabang KPK di Pomdam Jaya Guntur, Fathur ditahan di Rutan Cabang KPK di Gedung Merah Putih KPK, Desi ditahan di Rutan Polres Jakarta Selatan, sedangkan Jarot ditahan di Rutan Polres Jakarta Timur.
Mereka ditahan setelah memenuhi panggilan KPK dan diperiksa penyidik. Namun, penyidik mesti menjemput paksa Jarot karena dianggap tidak kooperatif dalam penyidikan kasus ini.
Selain itu, KPK menyita aset-aset yang dimiliki para tersangka berupa tanah dan bangunan yang tersebar di Jawa Timur, Jawa Tengah, DKI Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi, Banten, dan Yogyakarta.
Firli mengatakan, kelima tersangka diduga melakukan tindak pidana korupsi dengan modus menunjuk beberapa perusahaan subkontraktor untuk mengerjakan proyek-proyek fiktif di Divisi II PT Waskita Karya pada tahun 2009-2015.
Berdasarkan laporan Badan Pemeriksaan Keuangan, total kerugian yang timbul akibat pekerjaan proyek-proyek fiktif itu mencapai Rp 202 miliar.
"Kerugian negara ini telah dilakukan pemeriksaan investigatif sehingga kami meyakini ada akibat kerugian negara kurang lebih Rp 202 miliar," kata Firli.
Atas perbuatannya, para tersangka disangka melanggar Pasal 2 Ayat (1) atau Pasal 3 UU Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 Ayat (1) ke-1 jo Pasal 65 Ayat (1) KUHP.
Konstruksi perkara
Kasus ini bermula pada 2009, atau ketika Desi menjabat sebagai Kepala Divisi III/Sipil/II PT Waskita Karya.
Saat itu, Desi menyepakati pengambilan dana dari Waskita Karya melalui pekerjaan subkontraktor yang diduga fiktif pada proyek-proyek yang dikerjakan oleh Divisi III/Sipil/II PT Waskita Karya.
Untuk melaksanakan keputusannya itu, Desi memimpin rapat koordinasi internal terkait penentuan subkontraktor, besaran dana, dan lingkup pekerjaannya.
Desi bersama empat tersangka lainnya kemudian melengkapi dan menandatangani dokumen kontrak dan dokumen pencairan dana terkait dengan pekerjaan subkontraktor yang diduga fiktif tersebut.
Praktik tersebut terus berlanjut dan baru berhenti pada 2015 meskipun pada 2011 Desi telah dipromosikan menjadi Direktur Operasional PT Waskita Karya dan posisinya sebagai Kepala Divisi III/Sipil/II digantikan oleh Fathur.
"Selama periode 2009-2015, setidaknya ada 41 kontrak pekerjaan subkontraktor fiktif pada 14 proyek yang dikerjakan oleh Divisi III/Sipil/II PT Waskita Karya (Persero) Tbk," kata Firli.
Ia mengungkapkan, dana yang terkumpul dari pembayaran pekerjaan subkontraktor fiktif itu kemudian digunakan untuk membiayai pengeluaran di luar anggaran resmi Waskita Karta.
Pengeluaran tersebut antara lain untuk membeli peralatan yang tak tercatat sebagai aset perusahan, membeli valuta asing, dan membayar biaya operasional bagian pemasaran.
Kemudian, fee kepada pemilik pekerjaan dan subkontraktor yang dipakai, membayar denda pajak perusahaan subkontraktor, serta penggunaan lain oleh pejabat dan staf Divisi III/Sipil/II.
Adapun perusahaan yang digunakan untuk melakukan proyek fiktif itu yakni PT Safa Sejahtera Abadi, CV Dwiyasa Tri Mandiri, PT MER Engineering, dan PT Aryana Sejahtera.
Good corporate governance
Berkaca dari kasus ini, Firli mengingatkan sseluruh BUMN dan pelaku usaha lainnya untuk menerapkan prinsip-prinsip tata kelola perusahaan yang baik atau good corporate governance.
"Kita berharap kepada seluruh pihak yg melakukan pengerjaan harus melakukan prinsip-prinsip yang ketat sebagaimana prinsip good corporate governance," kata Firli dalam konferensi pers yang disiarkan akun YouTube KPK, Kamis (23/7/2020).
Firli mengatakan, prinsip good corporate governance itu mesti diterapkan untuk menghindari terjadinyya modus-modus korupsi anggaran proyek konstruksi seperti dalam kasus ini.
Ia mengatakan, ketegasan dan pengawasan yang kuat juga harus dilakukan terhadap proyek-proyek yang terkait kepentingan publik.
Apalagi, proyek besar yang dikerjakan BUMN seharusnya lebih memiliki perspektif pelayanan kepada masyarakat.
Firli mengatakan, KPK pun akan terus mengawasi setiap kegiatan yang bersumber dari APBN dan APBD untuk mencegah terjadinya korupsi.
"Kita ingin mencegah terjadinya korupsi, tetapi kalau tetap terjadi korupsi, KPK tegas melakukan penindakan," kata Firli.
https://nasional.kompas.com/read/2020/07/24/07135281/pengungkapan-proyek-fiktif-bumn-waskita-karya-yang-rugikan-negara-rp-202