JAKARTA, KOMPAS.com -"Iya saya dukung Pak Jokowi. Saya yakin Pak Jokowi itu akan menyelesaikan masalah ini dengan adil. Saya berharap periode kedua ini Pak Jokowi bisa menyelesaikannya."
Kalimat itu terucap dari mulut Laksmiati, ibu dari Heri Hartanto, Mahasiswa Trisakti yang menjadi korban penembakan dalam tragedi berdarah 22 tahun silam.
Laksmiati sempat diundang ke Media Center Tim Kampanye Nasional (TKN) Joko Widodo-Ma'ruf Amin, Menteng, Jakarta, Jumat (8/2/2019).
Dalam masa kampanye Pilpres 2019 lalu, ia memantapkan pilihan kepada Jokowi dan meyakini kasus dugaan pelanggaraan HAM berat yang menimpa anaknya akan dituntaskan pada periode kedua.
Begitu juga dengan Karsiah, ibunda Hendriawan Sie. Ia berharap mantan Gubernur DKI Jakarta itu akan melunasi janji yang pernah dikampanyekan pada Pilpres 2014 lalu.
"Iya kami senang saja, buktinya dia (Jokowi) sering undang kami. Kami bukan minta diundang. Dia yang undang kami," ujar Karsiah.
Tragedi Berdarah di Trisakti
Heri Hartanto dan Hendriawan Sie merupakan mahasiswa Trisakti yang tewas ditembak saat aksi unjuk rasa pada 12 Mei 1998.
Selain mereka, ada pula Elang Mulia Lesmana dan Hafidin Royan yang turut menjadi korban.
Demonstrasi mahasiswa di Universitas Trisakti merupakan rangkaian aksi mahasiswa yang menuntut reformasi sejak awal 1998.
Krisis yang mengguncang Indonesia pada awal 1998 menjadikan masyarakat Indonesia tak puas dengan kepemimpinan Presiden Soeharto.
Aksi mahasiswa semakin terbuka dan berani sejak Soeharto diangkat menjadi presiden untuk ketujuh kalinya dalam Sidang Umum MPR pada 10 Maret 1998.
Sebelumnya, aksi mahasiwa hanya dilakukan secara terbatas di dalam kampus.
Posisi kampus yang strategis, dekat dengan kompleks gedung DPR/MPR, menjadikan Universitas Trisakti menjadi titik berkumpul mahasiswa dari berbagai kampus.
KOMPAS mencatat, aksi dimulai sekitar pukul 11.00 WIB. Agenda aksi saat itu termasuk mendengarkan orasi Jenderal Besar AH Nasution, meski kemudian tidak jadi datang.
Orasi pun dilakukan para guru besar, dosen, dan mahasiswa.
Sekitar pukul 13.00 WIB, peserta aksi mulai keluar kampus dan tumpah ruah di Jalan S Parman, Jakarta Barat.
Mereka hendak long march menuju gedung MPR/DPR di Senayan. Barisan depan terdiri dari para mahasiswi yang membagi-bagikan mawar kepada aparat kepolisian yang menghadang ribuan peserta demonstrasi.
Negosiasi pun dilakukan.
Pimpinan mahasiswa, alumni, Dekan Fakultas Hukum Trisakti Adi Andojo, dan Komandan Kodim Jakarta Barat Letkol (Inf) A Amril sepakat bahwa aksi damai hanya bisa dilakukan hingga depan Kantor Wali Kota Jakarta Barat, sekitar 300 meter dari pintu utama Trisakti.
Berdasarkan kesepakatan itu, mahasiswa melanjutkan aksi dengan menggelar mimbar bebas menuntut agenda reformasi dan Sidang Istimewa MPR.
Aksi berjalan hingga pukul 17.00 WIB, tanpa ketegangan yang berarti. Saat itu, sebagian peserta aksi juga mulai masuk ke dalam kampus.
Akan tetapi, justru saat 70 persen mahasiswa sudah masuk ke dalam kampus, terdengar letusan senjata dari arah aparat keamanan.
Sontak, massa aksi yang panik kemudian berhamburan, lari tunggang langgang ke dalam kampus. Ada juga yang melompati pagar jalan tol demi keselamatan diri.
Setelah itu, aparat keamanan bergerak dan mulai memukuli mahasiswa. Perlawanan dilakukan, mahasiswa mulai melempar aparat keamanan dengan benda apa pun dari dalam kampus.
Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) menyebut korban luka mencapai 681 orang dari berbagai perguruan tinggi saat peristiwa tersebut.
Setelah peristiwa berdarah itU digelar Mahkamah Militer untuk mengadili pelaku di lapangan, namun tidak dengan pemegang kebijakan strategis di tingkat pusat.
Siapa yang bertanggung jawab?
Pada 27 Agustus 2001, Komnas HAM membentuk Komisi Penyelidikan Pelanggaran Hak Asasi Manusia (KPP HAM).
Tim penyelidik ad hoc ini bertugas menyelidiki dugaan terjadinya pelanggaran HAM berat dalam peristiwa Trisakti pada 12 Mei 1998, Semanggi I pada 13 November 1998, dan Semanggi II pada 23 September 1999.
KPP HAM diketuai Albert Hasibuan dan Todung Mulya Lubis sebagai wakil ketua. Usman Hamid, Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia saat ini, menjadi sekretaris.
Kemudian, Saparinah Sadli, Hendardi, Dadan Umar Daihani, Munarman, Zoemrotin K Soesilo, Ita F Nadia, Ruth Indiah Rahayu dan Azyumardi Azra, adalah anggota KPP HAM tersebut.
Dalam laporan tertanggal 20 Maret 2002, KPP HAM menyebut ada dua struktur komando operasi pada pengamanan saat peristiwa Trisakti.
Pertama, Komando Operasi Mantap Jaya III yang merupakan bagian dari Operasi Mantap ABRI dengan penanggungjawab Pangab Jenderal Wiranto.
Komando Operasi Mantap Jaya III terdiri atas satuan tempur ABRI dalam rangka pengamanan di Jakarta saat itu.
Kedua, Komando Operasi Mantap Brata III yang dijalankan oleh Polri dengan penanggungjawab Kapolri Jenderal Dibyo Widodo.
KPP HAM menemukan adanya bukti-bukti permulaan yang cukup bahwa telah terjadi pelanggaran HAM berat dalam peristiwa Trisakti, Semanggi I, dan Semanggi II.
Pelanggaran tersebut berupa pembunuhan, penganiayaan, penghilangan paksa, perkosaan, perampasan kemerdekaan, dan kebebasan fisik.
Bentuk pelanggaran HAM itu pun disebut dilakukan secara terencana, tersistematis, dan meluas.
KPP HAM juga menemukan adanya bukti-bukti berupa tindakan penyesatan informasi atas jatuhnya korban, latar belakang peristiwa, jenis senjata, serta pasukan yang terlibat, oleh pejabat-pejabat resmi yang berkaitan langsung maupun tidak dengan peristiwa.
Lalu, KPP HAM menemukan bukti upaya aparat TNI dan Polri yang menciptakan situasi dan peluang atau setidak-tidaknya melakukan pembiaran yang mengarah pada terjadinya konflik kekerasan fisik antar-masyarakat.
Tanggung jawab atas terjadinya rangkaian kejahatan terhadap kemanusiaan tidak terbatas pada aparat di lapangan.
Dengan melihat berbagai keterlibatan aparat TNI dan Polri serta aparat intelijen pada semua tingkat, dan berdasarkan fakta dari dokumen-dokumen resmi, KPP HAM menyimpulkan ada keterlibatan dan pertanggungjawaban pejabat TNI dan Polri di tingkat strategis.
KPP HAM merekomendasikan Wiranto dan Dibyo Widodo diperiksa di tingkat penyidikan.
Menuntut Keadilan
Sudah lebih dari dua dekade, kasus Tragedi Trisakti masih belum mendapat titik terang penuntasannya.
Padahal, sejak 1998, berbagai cara sudah ditempuh untuk mendesak pemerintah agar mengambil sikap.
Komnas HAM telah melakukan penyelidikan, namun berkasnya sudah tiga kali dikembalikan oleh Kejaksaan Agung dengan berbagai alasan.
Begitu juga dengan keluarga korban yang setiap Kamis menggelar aksi damai di Istana Negara sejak 2007.
Keluarga korban sempat bertemu Presiden Jokowi, Kamis (31/5/2018) di Istana.
Dalam pertemuan tersebut, peserta aksi Kamisan meminta Presiden Jokowi mengakui telah terjadinya sejumlah pelanggaran HAM masa lalu, salah satunya Tragedi Trisakti.
Selain itu, keluarga korban juga meminta Kejaksaan Agung segera menindaklanjuti hasil penyelidikan Komnas HAM.
Tuntutan penuntasan kasus juga disampaikan oleh Presiden Mahasiswa Universitas Trisakti Dinno Ardiansyah.
Dinno meminta Presiden Jokowi untuk mendorong Kejaksaan Agung segera melakukan penyidikan.
Ia juga mendesak agar Jokowi tak segan mencopot ST Burhanuddin dari jabatan Jaksa Agung jika tidak memahami konsep penegakan hukum berdasarkan prinsip hak asasi manusia (HAM)
“Kami mendesak Presiden mendorong Kejaksaan Agung melakukan penyidikan berkas kasus dari Komnas HAM,” ujar Dinno melalui keterangan tertulis kepada Kompas.com, Selasa (12/5/2020).
https://nasional.kompas.com/read/2020/05/13/03300081/tragedi-trisakti-berdarah-1998-siapa-yang-harus-bertanggung-jawab-