JAKARTA, KOMPAS.com - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) memulai langkah baru dengan menghadirkan tersangka kasus dugaan korupsi saat menggelar konferensi pers.
Kebiasaan itu dimulai daam konferensi pers penetapan Ketua DPRD Muara Enim Aries HB dan Plt Kepala Dinas PUPR Muara Enim Ramlan Suryadi sebagai tersangka suap, Senin (27/4/2020) lalu.
Ketua KPK Firli Bahuri mengatakan, langkah KPK memanjang tersangka dalam konferensi pers adalah untuk memberi rasa keadilan kepada masyarakat.
Menurut Firli, pemajangan tersangka itu diharapkan membuat masyarakat dapat menilai bahwa semua tersangka di kejahatan manapun mendapat perlakuan yang sama.
"Dengan menghadirkan para tersangka saat konferensi pers diharapkan menimbulkan rasa keadilan karena masyarakat melihat, oh tersangkanya ada dan melihat perlakuan yang sama kepada semua tersangka," kata Firli kepada Kompas.com, Selasa (28/4/2020).
Firli menegaskan, memberikan rasa keadilan bagi masyarakat itu merupakan salah satu tujuan penegakan hukum yang dijalankan oleh KPK.
Ia menambahkan, pemajangan para tersangka itu juga dimaksudkan untuk memberi efek jera bagi masyarakat agar tidak melakukan korupsi.
"Penegakan hukum dimaksudkan untuk rekayasa sosial (mengubah perilaku masyarakat dari buruk menjadi baik), juga memberikan efek jera kpepada masyarakat supaya tidak melakukan korupsi," kata Firli.
Dalam konferensi pers tersebut, Aries dan Ramlan tampak berdiri di belakang Wakil Ketua KPK Alexander Marwata dan Plt Juru Bicara KPK Ali Fikri yang memberi keterangan.
Aries dan Ramlan yang telah mengenakan romi tahanan warna oranye khas KPK itu berdiri memunggungi kamera sehingga wajahnya tak terlihat.
Menuai kritik
Kehadiran para tersangka dalam konferensi pers KPK merupakan hal yang tak lazim karena konferensi pers biasanya hanya dihadiri oleh perwakilan KPK yang memberi keterangan kepada awak media.
Pemandangan tersangka dihadirkan dalam konferensi pers sebelumnya banyak dijumpai di lingkungan kepolisian.
Indonesia Corruption Watch (ICW) pun menilai Firli membawa-bawa kebiasaan di lingkungan kepolisian ke KPK. Seperti diketahui, Firli merupakan jenderal bintang empat di kepolisian.
"Hal itu dapat dimaklumi, karena toh juga sampai saat ini Firli tidak pernah menyatakan mundur dari institusinya terdahulu (Polri). Jadi, wajar saja kebiasaan-kebiasaan lama yang bersangkutan masih dibawa-bawa ke KPK," kata peneliti ICW Kurnia Ramadhana.
Pakar hukum pidana Universitas Trisakti Abdul Fickar Hadjar menambahkan, pemajangan tersangka dalam konferensi pers penegak hukum pada dasarnya dapat melanggar hak asasi manusia (HAM).
Sebab, pemajangan dalam konferensi pers dapat dinilai sebagai bentuk hukuman bagi tersangka meski tersangka belum tentu bersalah.
"Menurut saya gaya memajang para tersangka baik di KPK perkara korupsi maupun tindak pidana unum di Kepolisian sangat berpotensi melanggar HAM. Status seseorang sebagai tersangka itu belum tentu bersalah," kata Fickar.
Fickar menuturkan, terdapat asas pidana dalam KUHAP yang menyatakan bahwa seseorang yang belum dijatuhi hukuman oleh hakim dengan putusan berkekuatan hukum tetap wajib dianggap tak bersalah.
Menurut Fickar, pemajangan tersangka tersebut dapat ditolerir bila penetapan tersangka diawali dengan operasi tangkap tangan terhadap para tersangka itu.
"Kecuali tersangka tertangkap tangan bersama barang buktinya bagian dari menunjukkan bukti-bukti penangkapan dan tersangkanya," kata Fickar.
Firli pun menanggapi santai kritikan yang disampaikan ICW dan Fickar. Ia mengaku justru kaget apabila KPK mendapat pujian ketimbang kritik.
"Kami berterima kasih masih ada yang peduli dan cinta dengan cara mengkritik. Mengkritik kan salah satu pekerjaannya, justru kita semua akan heran kalau tiba-tiba memberi pujian," ujar Firli.
Kerja senyap
Selain menghadirkan tersangka dalam konferensi pers, Firli menyebut KPK juga memiliki gaya baru dalam menindak kasus korupsi yakni bekerja secara senyap.
Bekerja secara senyap yang dimaksud Firli adalah menangkap tersangka kasus korupsi tanpa lebih dahulu mengumumkan penetapan status tersangka.
"Penangkapan yang dilakukan tanpa pengumuman status tersangka adalah ciri khas dari kerja- kerja senyap KPK saat ini, tidak koar-koar di media dengan tetap menjaga stabilitas bangsa di tengah Covid-19," kata Firli.
Hal ini pun berlaku pada penangkapan Aries dan Ramlan pada Minggu (26/4/2020) lalu.
Penyidikan terhadap Aries dan Ramlan sebetulnya telah dimulai sejak 3 Maret 2020. Aries dan Ramlan pun telah dua kali dipanggil penyidik namun keduanya mangkir.
Namun, penetapan Aries dan Ramlan sebagai tersangka baru diumumkan pada Senin petang setelah keduanya ditangkap.
ICW menilai hal tersebut sikap tersebut bertentangan dengan Undang-Undang tentang KPK yang mengharuskan lembaga antirasuah itu berpegang pada asas keterbukaan.
"Sepertinya Firli Bahuri harus membuka dan membaca secara cermat isi dari Undang-Undang KPK. Pasal 5 tegas menyebutkan bahwa dalam menjalankan tugas KPK berpegang pada asas keterbukaan, akuntabilitas, dan kepentingan umum," kata Kurnia.
Menurut Kurnia, masyarakat berhak untuk mengetahui upaya apa saja yang telah dilakukan KPK dalam menangani perkara.
Oleh karena itu, sudah semestinya KPK mempublikasikan pekerjaan yang dilakoninya ke masyarakat melalui media massa.
"Jadi selayaknya pernyataan itu tidak pantas dikeluarkan oleh seorang Ketua KPK," ujar Kurnia.
https://nasional.kompas.com/read/2020/04/29/07055251/kebijakan-pemajangan-tersangka-oleh-kpk-yang-menuai-kritik