Salin Artikel

Sederet Pernyataan Menkopolhukam Mahfud MD yang Kontroversial...

Pernyataan Mahfud terbaru yang menuai polemik terkait salah satu pasal dalam draf Rancangan Undang-Undang (RUU) Cipta Kerja yang telah diserahkan pemerintah ke Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) untuk dibahas bersama-sama.

Pada Pasal 170 disebutkan bahwa sebuah peraturan pemerintah kelak dapat membatalkan undang-undang. Mahfud menduga ada salah ketik dalam draf itu.

"Kalau isi UU diganti dengan PP, diganti dengan perpres, itu tidak bisa. Mungkin itu keliru ketik atau mungkin kalimatnya tidak begitu. Saya tidak tahu kalau ada (aturan) begitu (di dalam draf)," ujar Mahfud di Universitas Indonesia, Depok, Jawa Barat, Senin (17/2/2020).

Terkait hal ini, pengamat politik Jeirry Sumampow menilai, Mahfud berada di dalam posisi dilematis.

Di satu sisi, ia meyakini, mantan Ketua Mahkamah Konstitusi itu sangat memahami konstruksi hukum yang terdapat di dalam pasal tersebut.

Di sisi lain, karena berada di dalam struktur kabinet, Mahfud harus mendukung setiap kebijakan yang dibuat oleh pemerintah.

"Dia agak dilematis. Karena berada di dalam pemerintahan, jadi jawaban-jawaban yang muncul sebenarnya agak diplomatis sehingga formulasi katanya muncul dalam bentuk seperti itu," kata Jeirry menjawab Kompas.com, Selasa (18/2/2020).

Meski demikian, ia yakin bahwa dalam waktu dekat Mahfud akan kembali menganulir pernyataannya, seperti yang selama ini kerap terjadi.

"Itu kan karena Mahfud ketemu wartawan, sementara dia tidak bisa menghindar, sehingga dia bilang salah ketik. Nanti setelah ada konsolidasi internal, rasionalisasi, akan ada pernyataan Pak Mahfud lagi. Tunggu saja," ujar Jerry. 

Selain terkait keberadaan Pasal 170 di dalam RUU Cipta Kerja, ada beberapa pernyataan kontroversial Mahfud yang berhasil dihimpun Kompas.com sebagai berikut:

Tak ada kasus kejahatan HAM pasca-reformasi 1998

Mahfud menganggap bahwa perlindungan terhadap hak asasi manusia (HAM) sudah membaik sejak era reformasi.

Bahkan, ia menyebut, sudah tidak ada lagi kasus kejahatan HAM yang dilakukan oleh aparat hingga kini.

"Sejak era reformasi, saat kita menjatuhkan Pemerintahan Orde Baru, perlindungan hak asasi itu harus diakui membaik," ujar Mahfud di Kantor Kemenko Polhukam, Jakarta Pusat, pada 10 Desember 2019.

"Sejak itu kan tidak ada lagi kejahatan HAM. Kejahatan HAM itu kejahatan yang dilakukan oleh pemerintah terhadap rakyatnya. Kalau dulu kan Orde Baru banyak, sekarang yang masih tersisa 12 (kasus pelanggaran HAM) yang belum selesai. Yang zaman reformasi sejak 1998 kan tidak ada (kasus kejahatan HAM), yang dilakukan tentara, polisi terhadap rakyat," kata dia.

Mahfud mengatakan, kasus pelanggaran HAM yang terjadi setelah era reformasi justru bersifat horizontal.

Artinya, pelanggaran terjadi akibat konflik antarkelompok masyarakat. Ia mencontohkan kasus-kasus kekerasan yang terjadi di Papua.

Menurut Mahfud, kekerasan di Papua terjadi antara kelompok masyarakat dan aparat keamanan turun tangan untuk menyelesaikannya.

Kendati demikian berdasarkan catatan Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras), ada 643 peristiwa kekerasan yang dilakukan oleh polisi selama periode Juni 2018 sampai Mei 2019.

Peristiwa kekerasan itu mengakibatkan 651 tewas, 247 luka-luka dan 856 ditangkap.

Selain itu, selama periode Juni 2018-Mei 2019, kepolisian menjadi institusi yang paling banyak melakukan praktik penyiksaan dan tindakan tak manusiawi.

Dari 72 kasus penyiksaan yang ditemukan, 57 kasus dilakukan oleh aparat kepolisian dengan motif untuk mendapatkan informasi-informasi mengenai peristiwa.

Terkait kekerasan di Papua, Amnesty International Indonesia menemukan setidaknya 69 kasus pembunuhan di luar hukum atau unlawful killings yang dilakukan aparat keamanan.

Dalam kasus tersebut, setidaknya 95 orang meninggal dunia selama periode Januari 2010 hingga Februari 2018. Mayoritas korban tersebut atau 85 orang di antaranya adalah warga asli Papua.

Dokumen yang diserahkan pengacara hak asasi manusia (HAM) Veronica Koman ketika lawatan Presiden Joko Widodo ke Australia pada 10 Februari lalu itu berisi data 57 tahanan politik serta 243 korban sipil yang tewas di Nduga, Papua, sejak Desember 2018.

Namun, menurut Mahfud, dokumen tersebut tidak penting.

"Itu anulah, kalau memang ada ya sampah sajalah," kata Mahfud di Istana Bogor, Selasa (11/2/2020) sore.

Mahfud yang turut mendampingi Jokowi di Negeri Kanguru juga tidak mengetahui apakah dokumen tersebut benar-benar sudah diserahkan langsung kepada Kepala Negara.

Sebab, menurut Mahfud, saat itu banyak warga yang berebut untuk bersalaman dan menyerahkan surat ke Jokowi.

"Saya tahu surat seperti itu banyak. Orang berebutan salaman, kagum kepada Presiden, ada yang kasih map, amplop, surat gitu, jadi tidak ada urusan Koman atau bukan. Kita enggak tahu itu Koman apa bukan," kata dia.

"Belum dibuka kali suratnya. Surat banyak," ucap dia. 

Belakangan, Mahfud menganulir pernyataannya. Menurut dia, yang ia sebut sebagai sampah adalah informasi tentang Veronica yang menyampaikan surat ke Presiden Joko Widodo ketika di Australia beberapa waktu lalu.

"Yang sampah itu adalah informasi bahwa Veronica Koman serahkan surat kepada presiden itu sampah, tidak ada. Saya ada di situ, enggak ada Veronica Koman," kata Mahfud di Kantor Kemenko Polhukam, Jakarta, Kamis (13/2/2020).

Mahfud tidak mengetahui apakah benar Veronica melalui utusannya menyampaikan data ke Jokowi.

Namun, ia memastikan semua surat yang diterima Jokowi di Australia sudah ditampung.

Sampai sekarang Mahfud mengaku belum mengetahui mengenai isi surat Veronica itu.

Status kewarganegaraan eks teroris lintas negara asal Indonesia

Terkait hal ini, Mahfud sebelumnya menyatakan bahwa pencabutan status kewarganegaraan mereka cukup melalui keputusan presiden.

Hal itu sesuai dengan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor Nomor 2 Tahun 2007 tentang Tata Cara Memperoleh, Kehilangan, Pembatalan, dan memperoleh kewarganegaraan Republik Indonesia.

Dalam PP tersebut diatur pencabutan kewarganegaraan bisa dilakukan oleh presiden melalui proses hukum administrasi.

"Cuma kan harus ada proses administrasinya, hukum administrasi itu diatur di Pasal 32, 33 bahwa itu nanti menteri memeriksa ya sesudah oke serahkan presiden, presiden mengeluarkan (keppres) itu proses hukum namanya proses hukum administasi jadi bukan proses pengadilan," kata Mahfud di Kantor Kemenko Polhukam, Jakarta, pada 13 Februari lalu.

Mahfud tidak mengetahui berapa lama keppres terkait pengguguran status WNI untuk terduga teroris pelintas batas bisa dikeluarkan.

Sebab, proses itu tergantung Jokowi sebagai pimpinan negara.

Belakangan, Mahfud kembali menganulir pernyataannya. Menurut dia, pencabutan kewarganegaraan cukup lewat keputusan menteri (kepmen).

"Kalau pencabutan itu cukup Menkumham tetapi tidak pakai pengadilan. Proses hukum bukan pengadilan saja," kata Mahfud di Kantor Presiden, Jakarta, Selasa (18/2/2020).

Mahfud mengatakan, keppres dibutuhkan bila ada seseorang yang mengajukan naturalisasi untuk menjadi WNI.

Karenanya, dalam hal pencabutan kewarganegaraan eks ISIS hanya dibutuhkan kepmen.

"Kalau itu permohonan naturalisasi pakai Keppres tapi kalau pencabutan pakai kepmen," ucap Mahfud. 

https://nasional.kompas.com/read/2020/02/19/11080861/sederet-pernyataan-menkopolhukam-mahfud-md-yang-kontroversial

Terkini Lainnya

Ketum PGI: 17 Kali Jokowi ke Papua, tapi Hanya Bertemu Pihak Pro Jakarta

Ketum PGI: 17 Kali Jokowi ke Papua, tapi Hanya Bertemu Pihak Pro Jakarta

Nasional
Kasus Brigadir RAT, Beda Keterangan Keluarga dan Polisi, Atasan Harus Diperiksa

Kasus Brigadir RAT, Beda Keterangan Keluarga dan Polisi, Atasan Harus Diperiksa

Nasional
KPK Ancam Pidana Pihak yang Halangi Penyidikan Gus Muhdlor

KPK Ancam Pidana Pihak yang Halangi Penyidikan Gus Muhdlor

Nasional
195.917 Visa Jemaah Haji Indonesia Sudah Terbit

195.917 Visa Jemaah Haji Indonesia Sudah Terbit

Nasional
Sukseskan Perhelatan 10th World Water Forum, BNPT Adakan Asesmen dan Sosialisasi Perlindungan Objek Vital di Bali

Sukseskan Perhelatan 10th World Water Forum, BNPT Adakan Asesmen dan Sosialisasi Perlindungan Objek Vital di Bali

Nasional
Penyidik KPK Enggan Terima Surat Ketidakhadiran Gus Muhdlor

Penyidik KPK Enggan Terima Surat Ketidakhadiran Gus Muhdlor

Nasional
Di Puncak Hari Air Dunia Ke-32, Menteri Basuki Ajak Semua Pihak Tingkatkan Kemampuan Pengelolaan Air

Di Puncak Hari Air Dunia Ke-32, Menteri Basuki Ajak Semua Pihak Tingkatkan Kemampuan Pengelolaan Air

Nasional
Ketum PGI Tagih Janji SBY dan Jokowi untuk Selesaikan Masalah Papua

Ketum PGI Tagih Janji SBY dan Jokowi untuk Selesaikan Masalah Papua

Nasional
Gus Muhdlor Kirim Surat Absen Pemeriksaan KPK, tetapi Tak Ada Alasan Ketidakhadiran

Gus Muhdlor Kirim Surat Absen Pemeriksaan KPK, tetapi Tak Ada Alasan Ketidakhadiran

Nasional
PPP Minta MK Beri Kebijakan Khusus agar Masuk DPR meski Tak Lolos Ambang Batas 4 Persen

PPP Minta MK Beri Kebijakan Khusus agar Masuk DPR meski Tak Lolos Ambang Batas 4 Persen

Nasional
Sidang Sengketa Pileg Kalteng Berlangsung Kilat, Pemohon Dianggap Tak Serius

Sidang Sengketa Pileg Kalteng Berlangsung Kilat, Pemohon Dianggap Tak Serius

Nasional
Pemerintahan Baru dan Tantangan Transformasi Intelijen Negara

Pemerintahan Baru dan Tantangan Transformasi Intelijen Negara

Nasional
Tegur Pemohon Telat Datang Sidang, Hakim Saldi: Kalau Terlambat Terus, 'Push Up'

Tegur Pemohon Telat Datang Sidang, Hakim Saldi: Kalau Terlambat Terus, "Push Up"

Nasional
KPK Sebut Keluarga SYL Sangat Mungkin Jadi Tersangka TPPU Pasif

KPK Sebut Keluarga SYL Sangat Mungkin Jadi Tersangka TPPU Pasif

Nasional
Timnas Kalah Lawan Irak, Jokowi: Capaian hingga Semifinal Layak Diapresiasi

Timnas Kalah Lawan Irak, Jokowi: Capaian hingga Semifinal Layak Diapresiasi

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke