Melki mengatakan, istilah "Cilaka" ibarat seperti sebuah pukulan bagi DPR dan pemerintah.
Oleh karena itu, ia meminta publik menyebut RUU Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja dengan sebutan RUU Ciptaker.
"Saya sarankan kita pake istilah Ciptaker ya, bukan Cilaka. Bahaya Indonesia. Saya beberapa kali pertemuan orang pake istilah Cilaka," kata Melki dalam sebuah diskusi bertajuk 'Omnibus Law dan Kita' di Hotel Ibis Jalan KH Wahid Hasyim, Jakarta Pusat, Sabtu (1/2/2020).
"Istilah ini jadi pukulan bagi kita. Coba pakai istilah yang positif, Ciptaker," lanjut dia.
Melki sekaligus menegaskan bahwa pembahasan RUU Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja bukan pertempuran antara kelompok buruh dan pengusaha dan pemerintah.
Ia mengatakan, RUU Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja merupakan pembahasan bersama baik untuk pekerja formal seperti buruh dan informal seperti pekerja bebas.
"Maksudnya, kita harus keluar dari perangkap bahwa seolah-olah UU itu hanya menguntungkan salah satu unsur. Saya kira tidak," ujar Melki.
"Pekerja sektor formal ada 55 juta, informal ini banyak yang belum kita perhatikan sungguh-sungguh sebanyak 32 juta," sambung dia.
DPR sendiri akan memastikan pembahasan RUU Omnibus Law akan membela kepentingan buruh. Namun, akan diimbangi dengan kebutuhan para pengusaha.
"DPR memastikan posisi kami akan membela rakyat yang namanya buruh, tapi kami juga tahu bahwa yang namanya negara ini butuh pengusaha juga yang membuat perekonomian semakin tumbuh, jadi semua harus duduk bersama," ujar Melki.
https://nasional.kompas.com/read/2020/02/01/15091131/komisi-ix-protes-omnibus-law-cipta-lapangan-kerja-disebut-cilaka