Salin Artikel

Suara Parpol Nonparlemen: Kritisi Usul Kenaikan Parlementiary Treshold hingga Sistem Pemilu

Perwakilan yang terdiri dari para sekretaris jenderal (sekjen) dan wakil sekjen itu memenuhi undangan dari Mendagri.

Mereka yang hadir yakni Sekjen Partai Persatuan Indonesia (Perindo) Ahmad Rofiq, Sekjen Partai Hati Nurani Rakyat (Hanura) Gede Pasek Suardika, Sekjen DPP Partai Berkarya Priyo Budi Santoso dan Sekjen DPP Partai Bulan Bintang (PBB) Afriansyah Ferry Noor.

Kemudian, hadir pula Wakil Sekjen Partai Solidaritas Indonesia (PSI) Satia Chandra Wiguna, Sekjen Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia (PKPI) Verry Surya Hendrawan dan Sekjen Partai Gerakan Perubahan Indonesia (Garuda) Ahmad Ridha Sabana.

Pertemuan berlangsung tertutup selama sekitar lima jam, yakni dimulai pukul 08.30 WIB hingga 12.45 WIB.

Menurut Sekjen Partai Berkarya Priyo Budi Santoso, ada banyak hal yang didiskusikan dalam pertemuan.

Salah satunya menyoal revisi UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang pemilu.

Kritisi usulan kenaikan parlementiary treshold

Meski tidak semua partai nonparlemen adalah partai baru, tetapi ada kesamaan yang mereka hadapi.

Kesamaan itu yakni belum bisa meraih angka ambang batas parlemen (parlementiary treshold) sebesar 4 persen sebagaimana diatur UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu.

Persentase perolehan suara ketujuh partai dalam pemilu 2019 yaitu Perindo (2,67 persen), Berkarya (2,09 persen), PSI (1,89 persen), Hanura (1,54 persen), PBB (0,79 persen), Garuda (0,50 persen) dan PKPI (0,22 persen).

Akibatnya ketujuh partai tak bisa menempatkan wakilnya di DPR RI untuk masa bakti lima tahun ke depan.

Karenanya, para perwakilan tujuh partai nonparlemen mengkritisi usulan dari sejumlah partai parlemen yang ingin menaikkan ambang batas parlemen menjadi 5 persen hingga 7 persen.

Priyo menilai ada semangat dari partai di parlemen untuk melanggengkan kekuasaan mereka dengan usulan kenaikan ambang batas parlemen.

Mantan politisi Partai Golkar yang juga mantan anggota DPR periode 2009-2014 ini mengaku memahami semangat ini karena pernah berada di posisi sebagai kader dari parpol besar yang menguasai Senayan.

Senada, Sekjen PSI Satia Chandra Wiguna juga mengkritisi usulan kenaikan parlementiary treshold.

Chandra mengatakan realitas politik di lapangan akan berat jika ambang batas parlemen diterapkan.

Minta presidential treshold diturunkan

Para wakil partai nonparlemen ini juga meminta besaran ambang batas pencalonan presiden (presidential treshold) dievaluasi dan diturunkan.

Adapun peraturan mengenai presidential threshold tertuang saat ini tertuang dalam Pasal 222 Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu.

Pasal itu menjelaskan bahwa parpol atau gabungan parpol harus mengantongi 20 persen kursi DPR atau 25 persen suara sah nasional dari hasil pileg sebelumnya untuk bisa mengusung pasangan capres-cawapres pemilu.

Karenanya, partai baru atau partai dengan perolehan suara yang kecil tidak bisa mengusung capres-cawapres sendiri.

Sekjen Perindo Ahmad Rofiq mengatakan, ambang batas pencalonan presiden sebesar 20 persen seperti saat ini tidak perlu diterapkan.

"Ambang batas pencalonan presiden itu (sebesar 20 persen) memang tidak perlu terjadi. Karena baik partai yang ada di parlemen dan partai di luar parlemen ini kan semua punya aspirasi, " ujar Rofiq.

Priyo Budi Santoso pun menilai besaran ambang batas pencalonan presiden sebesar 20 persen membawa dampak negatif.

Sebab, pada akhirnya berakibat pembelahan perpolitikan yang berkepanjangan.

Kritisi dana bantuan parpol

Dalam kesempatan itu, Priyo Budi Santoso juga mengkritisi dana bantuan dari pemerintah. Pihaknya sebagai partai nonparlemen merasa tidak diperlakukan secara adil.

Sebab, berdasarkan aturan dana bantuan dari pemerintah diperuntukan bagi mereka yang lolos parlementiary threshold dan mendapat kursi di parlemen.

Dia membandingkan dengan aturan dalam UU Pemilu bahwa ambang batas parlemen merujuk dukungan proporsional suara.

"Sehingga malau mau adil, mestinya tidak usah ada embel-embel, mereka yang istimewa, partai yang tidak lolos harusnya dihitung juga. Sebab, (perolehan suara) kami total keseluruhan adalah 11 persen lebih dari suara nasional," kata Priyo.

"Ini kan kalau kami mau bersatu, bisa besar dan punya fraksi sendiri di parlemen. Kalau mau dan dibolehkan UU, tapi kan UU kejam sekali. Membunuh semua aspirasi ini, " tambah Priyo.

Pihaknya berharap ada perubahan ke depan karena sudah menyampaikan aspirasi kepada Mendagri Tito Karnavian.

Usulkan pilpres dan pileg tak digelar bersamaan

Selain membawa aspirasi atas nasib mereka, perwakilan dari tujuh partai nonparlemen juga menyarankan pemilihan presiden (pilpres) dan pemilihan anggota legistatif (pileg) digelar tidak secara serentak.

"Tadi rata-rata dari kami bertujuh mengusulkan agar pemilu serentak untuk pilpres dan pileg ke depannya ditiadakan alias dipisah," ujar Priyo Budi Santoso usai bertemu Mendagri.

Artinya, lanjut Priyo, pilpres dilaksanakan di hari yang lain.

Pertimbangannya, kata dia, keserentakan pemilu 2019 menimbulkan banyak persoalan.

Salah satunya menyebabkan ratusan petugas pemilu wafat karena diduga memgalami kelelahan saat bertugas.

Dia menambahkan, seluruh aspirasi yang disampaikan partai nonparlemen diharapkan bisa menjadi pertimbangan dalam revisi UU Pemilu.

Dengan masuknya usulan RUU tentang Perubahan atas UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu dalam program legislasi nasional (prolegnas) prioritas tahun 2020, pihaknya berharap Mendagri bisa membawa aspirasi dan menghasilkan produk UU yang berkualitas bersama DPR.

Tanggapan Kemendagri

Kepala Pusat Penerangan Kemendagri Bahtiar mengatakan pihaknya telah mencatat masukan dari perwakilan partai nonparlemen itu.

Menurutnya, keberadaan partai dalam sistem politik Indonesia bukan hanya sebagai kontestan dalam pilkada dan pemilu.

"Parpol juga bisa memberikan masukan berbagai persoalan politik nasional maupun daerah. Termasuk bagaimana mengelola negara dalam konteks pemerintahan dalam negeri, " kata Bahtiar.

Sebab meski ketujuh partai tidak masuk ke parlemen, tetapi menurut dia kekuatan mereka di daerah tetap ada.

"Misalnya Hanura masih sampai 800 (orang anggota DPRD), kemudian Perindo ada 400 (orang anggota DPRD). Sehingga kita tak hanya melihat dari sisi pemilu maupun pilkada saja, " tambah Bahtiar.

https://nasional.kompas.com/read/2020/01/30/06562141/suara-parpol-nonparlemen-kritisi-usul-kenaikan-parlementiary-treshold-hingga

Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke