Fickar merespons vonis dua tahun penjara terhadap terdakwa kasus dugaan suap terkait seleksi jabatan di Kementerian Agama (Kemenag) tersebut.
"Hukuman pidana pada koruptor seharusnya hukuman maksimal. Bahkan, jika mungkin pembuktiannya, harus ada perampasan harta yang semaksimal mungkin dari koruptor," kata Fickar kepada Kompas.com, Selasa (21/1/2020).
Jika dilihat dari perspektif masyarakat, ia mempertanyakan apakah hukuman seperti itu sudah memenuhi rasa keadilan publik.
Sebab, mereka pada dasarnya merupakan penyelenggara negara yang sumber gajinya berasal dari masyarakat, namun mereka malah terjerat kasus korupsi.
"Korupsi itu kejahatan yang berkaitan dengan kekuasaan dan atau kerugiannya pada masyarakat yang sudah menyetor pajak pada negara atau masyarakat yang berhak atas program kesejahteraan dari negara yang uangnya dikorupsi," kata dia.
Sementara, jika dilihat dari perspektif jaksa KPK sebagai penuntut umum, Fickar menilai putusan tersebut terlalu rendah.
Itu mengingat jaksa KPK menuntut 4 tahun penjara dan denda Rp 250 juta subsider 5 bulan kurungan.
"Maka hukuman separuh dari tuntutan itu diwajibkan banding, karena biasanya target jaksa penuntut umum itu dua per tiga dari tuntutan," kata Fickar.
Sebelumnya Romy divonis 2 tahun penjara dan denda Rp 100 juta subsider 3 bulan kurungan oleh majelis hakim pada Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta, Senin (20/1/2020).
Vonis ini lebih rendah dari tuntutan jaksa KPK, yakni 4 tahun penjara dan denda Rp 250 juta subsider 5 bulan kurungan.
Dalam analisis yuridisnya, majelis meyakini bahwa Romy telah memenuhi unsur menerima hadiah atau janji, yakni menerima uang sebesar Rp 255 juta dari mantan Kakanwil Kemenag Jawa Timur Haris Hasanuddin dan Rp 50 juta dari mantan Kepala Kantor Kemenag Gresik Muafaq Wirahadi.
Uang tersebut diberikan oleh Haris dan Muafaq dengan maksud agar Romy membantu keduanya lolos dalam seleksi jabatan di Kemenag.
https://nasional.kompas.com/read/2020/01/21/16554691/romahurmuziy-divonis-2-tahun-pakar-hukum-soroti-hukuman-maksimal-koruptor