Salin Artikel

Dugaan Kekerasan yang Sistematis dalam Kasus Tragedi Semanggi I dan II

JAKARTA, KOMPAS.com - Jaksa Agung ST Burhanuddin belakangan ini mengutip rekomendasi DPR periode 1999-2004 terkait kasus Tragedi Semanggi I dan II. 

Burhanuddin mengatakan, kedua kasus tersebut bukan merupakan pelanggaran hak asasi manusia (HAM) berat.

Ia merujuk pada hasil rapat paripurna DPR periode 1999-2004 yang menyebut bahwa kedua peristiwa tersebut bukan merupakan pelanggaran HAM berat.

Hasil rapat paripurna yang kemudian disebut sebagai rekomendasi DPR ini berbeda dengan hasil penyelidikan oleh Komisi Penyelidikan Pelanggaran (KPP) HAM.

Berdasarkan tulisan berjudul "Wawan, Tragedi demi Tragedi" oleh Arief Priyadi dalam buku Saatnya Korban Bicara: Menata Derap Merajut Langkah (2009), KPP HAM merekomendasikan beberapa hal terkait kasus tragedi Semanggi I dan Semanggi II.

Arief Priyadi merupakan ayah dari Bernardinus Realino Norma Irmawan atau Wawan, korban penembakan saat Tragedi Semanggi I pada 11-13 November 1998.

Sebagaimana dilansir Kompas.com, Senin (20/1/2020), poin pertama yakni pembunuhan secara sistemik di berbagai tempat dalam waktu panjang, yakni Mei dan November 1998 serta September 1999.

Kedua, penganiayaan secara berulang terhadap mahasiswa dan anggota masyarakat yang dilakukan oleh aparat TNI/Polri di Universitas Trisakti, Universitas Atmajaya Jakarta dan Semanggi dengan akibat korban fisik.

Dan ketiga, perampasan kemerdekaan dan kebebasan fisik, termasuk penggeledahan, penangkapan dan penahanan yang dilakukan sewenang-wenang dan melampaui batas-batas kepatutan.

Adapun Tragedi Semanggi I merupakan momen di mana mahasiswa menggelar demonstrasi terkait tuntutan reformasi.

Mahasiswa menggelar aksi penolakan terhadap Sidang Istimewa MPR/DPR mengenai pemerintahan transisi yang dipimpin BJ Habibie sehingga terjadi pertumpahan darah.

Sementara itu, Peristiwa Semanggi II terjadi pada 24 September 1999.

Saat itu, mahasiswa menggelar aksi unjuk rasa untuk meminta pembatalan pengesahan Rancangan Undang-Undang Penanggulangan Keadaan Bahaya (RUU PKB) yang disahkan DPR dan pemerintah.

Ada beberapa poin dalam RUU PKB yang memunculkan kontroversial, salah satunya, jika disahkan, UU PKB akan menjadi pembenaran bagi TNI untuk melakukan operasi militer.

Serangan sistemik

Berdasarkan rekomendasi KPP HAM, Arief memaparkan dugaan adanya serangan yang dilakukan secara sistematis sejak Tragedi Trisakti pada Mei 1998 hingga Tragedi Semanggi I dan II.

Penelusuran di lapangan oleh KPP HAM menghasilkan 4 poin, yakni;

1. Pernyataan verbal yang menunjukkan adanya kebijakan menyerang dengan kekerasan terhadap mahasiswa.

2. Adanya rencana menghadapi gelombang aksi mahasiswa dan masyarakat secara formal dijabarkan dalam kebijakan Operasi Mantap ABRI (1997-1998) dan Operasi Mantap Brata (1999). Kedua kebijakan ini kemudian diturunkan dalam berbagai bentuk operasi dan wilayah (di berbagai Kodam) dengan bentuk penghadangan dan penyerangan terhadap aksi mahasiswa pada ketiga tragedi tersebut.

3. Adanya tujuan politik yang ingin dicapai dari penyerangan itu, yakni untuk mempertahankan rezim politik saat itu, baik Soeharto maupun BJ Habibie. Dalam konteks mencapai tujuan politik ini maka mahasiswa dan masyarakat yang menuntut perubahan dipersepsikan sebagai "perusuh negara".

4. Pengerahan pasukan dengan segala peralatan kekerasan secara masif.

"Sebagai contoh, dalam Tragedi Semanggi I dikerahkan 18.040 pasukan TNI dan Polri, belum termasuk kekuatan sipil seperti Pam Swakarsa yang dihadapkan pada aksi-aksi mahasiswa. Polda Metro Jaya melibatkan kurang lebih 125 ribu warga sipil pada Tragedi Semanggi I," tulis Arief.

Rekomendasi DPR

Sementara itu, masih berdasarkan tulisan Arief, DPR periode 1999-2004 menerbitkan keputusan tentang pembentukan Pansus DPR mengenai kasus Trisakti, Semanggi I, dan Semanggi I (TSS).

Pansus tersebut beranggotakan 50 orang dari 10 Fraksi, dengan tugas memantau proses penyelesaian kasus Trisakti serta Kasus Semanggi I dan II.

"Hasil kerja pansus adalah 'rekomendasi' yang kemudian dilaporkan kepada Badan Musyawarah (Bamus) DPR. Rekomendasi Ini dicapai melalui voting pada 27 Juni 2001," tulis Arief.

Menurut daftar hadir, anggota pansus yang hadir saat itu sebanyak 26 orang. Akan tetapi, pada saat voting berlangsung, yang hadir hanya 19 orang.

Hasil votingnya, sebanyak 14 suara setuju merekomendasikan penyelesaian peristiwa TSS melalui peradilan umum atau militer.

Alasannya, tragedi TSS dinilai bukan pelanggaran HAM berat.

Kemudian, ada lima suara setuju dengan rekomendasi kepada presiden untuk mengeluarkan keputusan presiden (keppres) tentang pembentukan pengadilan HAM ad hoc.

"Akhirnya, laporan pansus kepada sidang paripurna DPR pada 9 Juli 2001 merekomendasikan untuk meneruskan (tragedi ini) ke pengadilan umum/militer yang telah dan sedang berjalan," tutur Arief.

Rekomendasi ini yang kemudian dikenal dengan "Rekomendasi DPR".

Menurut Arief, rekomendasi ini mengakibatkan kasus TSS dalam posisi menggantung.

"Rekomendasi ini juga yang selalu dijadikan alasan oleh Kejaksaan Agung untuk tidak menindaklanjuti hasil penyelidikan Komnas HAM," kata Arief.

Janji yang Tak Direalisasikan

Setelah adanya rekomendasi DPR itu, korban dan keluarga korban serta masyarakat peduli HAM kemudian beraudiensi dengan ketua DPR Akbar Tandjung pada 9 Juli 2003.

Akbar berjanji mengadakan rapat gabungan antara komisi yang membidangi masalah hukum, Kejaksaan Agung, dan Komnas HAM guna membicarakan rekomendasi DPR itu.

Namun, janji tersebut tidak pernah direalisasikan.

Arief mengatakan, setelah keanggotaan DPR berganti periode, komisi bidang hukum DPR dengan korban/keluarga korban, serta masyarakat peduli HAM bertemu awal Januari 2005.

Dalam pertemuan itu, anggota komisi hukum menyatakan bahwa seharusnya Kejaksaan Agung segera menindaklanjuti hasil penyelidikan komnas HAM.

Menurut Komisi Hukum DPR periode 2004-2009, rekomendasi DPR pada 2001 itu bukan produk hukum dan tidak mengikat secara hukum.

Beberapa bulan kemudian, tepatnya 30 Juni 2005, muncul kesepakatan seluruh fraksi dan komisi hukum yang menghendaki agar kasus TSS diungkap kembali.

Awalnya, ketua DPR Agung Laksono terkesan mendukung.

Dalam audiensi dengan korban serta masyarakat peduli HAM pada 14 September 2005, Agung Laksono menjelaskan bahwa kesepakatan tersebut akan ditindaklanjuti melalui prosedur formal sesuai mekanisme yang berlaku.

Kesepakatan tersebut dibahas dalam Rapat Bamus DPR pada 22 September 2005.

Namun, korban dan keluarga korban kecewa karena dalam rapat Bamus 22 September 2005 itu, kasus TSS tidak masuk dalam agenda pembahasan.

https://nasional.kompas.com/read/2020/01/21/05050071/dugaan-kekerasan-yang-sistematis-dalam-kasus-tragedi-semanggi-i-dan-ii

Terkini Lainnya

Pengamat: Nasib Ganjar Usai Pilpres Tergantung PDI-P, Anies Beda karena Masih Punya Pesona Elektoral

Pengamat: Nasib Ganjar Usai Pilpres Tergantung PDI-P, Anies Beda karena Masih Punya Pesona Elektoral

Nasional
Defend ID Targetkan Tingkat Komponen Dalam Negeri Alpalhankam Capai 55 Persen 3 Tahun Lagi

Defend ID Targetkan Tingkat Komponen Dalam Negeri Alpalhankam Capai 55 Persen 3 Tahun Lagi

Nasional
TNI AL Kerahkan 3 Kapal Perang Korvet untuk Latihan di Laut Natuna Utara

TNI AL Kerahkan 3 Kapal Perang Korvet untuk Latihan di Laut Natuna Utara

Nasional
Dampak Eskalasi Konflik Global, Defend ID Akui Rantai Pasokan Alat Pertahanan-Keamanan Terganggu

Dampak Eskalasi Konflik Global, Defend ID Akui Rantai Pasokan Alat Pertahanan-Keamanan Terganggu

Nasional
PKS Klaim Punya Hubungan Baik dengan Prabowo, Tak Sulit jika Mau Koalisi

PKS Klaim Punya Hubungan Baik dengan Prabowo, Tak Sulit jika Mau Koalisi

Nasional
Tak Copot Menteri PDI-P, Jokowi Dinilai Pertimbangkan Persepsi Publik

Tak Copot Menteri PDI-P, Jokowi Dinilai Pertimbangkan Persepsi Publik

Nasional
Pengamat: Yang Berhak Minta PDI-P Cabut Menteri Hanya Jokowi, TKN Siapa?

Pengamat: Yang Berhak Minta PDI-P Cabut Menteri Hanya Jokowi, TKN Siapa?

Nasional
Klarifikasi Unggahan di Instagram, Zita: Postingan Kopi Berlatar Belakang Masjidilharam untuk Pancing Diskusi

Klarifikasi Unggahan di Instagram, Zita: Postingan Kopi Berlatar Belakang Masjidilharam untuk Pancing Diskusi

Nasional
PDI-P “Move On” Pilpres, Fokus Menangi Pilkada 2024

PDI-P “Move On” Pilpres, Fokus Menangi Pilkada 2024

Nasional
Sandiaga Usul PPP Gabung Koalisi Prabowo-Gibran, Mardiono: Keputusan Strategis lewat Mukernas

Sandiaga Usul PPP Gabung Koalisi Prabowo-Gibran, Mardiono: Keputusan Strategis lewat Mukernas

Nasional
Rakernas PDI-P Akan Rumuskan Sikap Politik Usai Pilpres, Koalisi atau Oposisi di Tangan Megawati

Rakernas PDI-P Akan Rumuskan Sikap Politik Usai Pilpres, Koalisi atau Oposisi di Tangan Megawati

Nasional
Bareskrim Periksa Eks Gubernur Bangka Belitung Erzaldi Rosman Terkait Kasus Dokumen RUPSLB BSB

Bareskrim Periksa Eks Gubernur Bangka Belitung Erzaldi Rosman Terkait Kasus Dokumen RUPSLB BSB

Nasional
Lempar Sinyal Siap Gabung Koalisi Prabowo, PKS: Kita Ingin Berbuat Lebih untuk Bangsa

Lempar Sinyal Siap Gabung Koalisi Prabowo, PKS: Kita Ingin Berbuat Lebih untuk Bangsa

Nasional
Anies: Yang Lain Sudah Tahu Belok ke Mana, Kita Tunggu PKS

Anies: Yang Lain Sudah Tahu Belok ke Mana, Kita Tunggu PKS

Nasional
Nasdem: Anies 'Top Priority' Jadi Cagub DKI

Nasdem: Anies "Top Priority" Jadi Cagub DKI

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke