Salin Artikel

Perlukah Masa Jabatan Anggota DPR Dibatasi?

JAKARTA, KOMPAS.com – Masa jabatan anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) digugat ke Mahkamah Konstitusi (MK). Tidak adanya limitasi yang tegas yang diatur di dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD (MD3), menyebabkan anggota DPR dapat terpilih berulang kali.

Penggugat adalah seorang advokat bernama Ignatius Supriyadi. Di dalam permohonan perkara teregistrasi Nomor 1/PUU-XVIII/2020, ia menggugat empat pasal yang ada di dalam UU tersebut, yaitu Pasal 76 ayat (4), Pasal 252 ayat (5), Pasal 318 ayat (4), dan Pasal 367 ayat (4).

Selain masa jabatan anggota DPR, Ignatius juga menggungat masa jabatan anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD), serta Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) provinsi dan kabupaten/kota.

Dalam pasal-pasal tersebut dinyatakan bahwa masa jabatan anggota DPR ditentukan selama lima tahun dan berakhir ketika anggota dewan baru mengucapkan janji atau sumpah.

Bila melihat ketentuan tersebut, menurut dia, seharusnya anggota lama tidak dapat menjadi anggota baru. Konsekuensi lebih lebih lanjut dari hal tersebut adalah anggota dewan hanya dapat dipilih untuk masa jabatan satu kali.

“Namun, pemahaman tersebut tidak terjadi di dalam praktiknya. Justru ditafsirkan sebagai tidak ada pembatasan berapa kali anggota dewan dapat menduduki masa jabatannya,” kata Ignatius seperti dilansir dari laman resmi Mahkamah Konstitusi, Jumat (17/1/2020).

“Itu berarti pula selamanya anggota dewan dapat menempati jabatannya tersebut sepanjang dipilih dalam proses pemilihan umum,” imbuh dia.

Ignatius berpandangan, frasa ‘dan akhir pada saat anggota DPRD kabupaten/kota yang baru mengucapkan sumpah/janji’, justru memunculkan multi interpretasi. Bahkan tafsir tersebut menjurus kepada pengertian ‘tidak ada pembatasan terhadap masa jabatan anggota DPR, DPD, DPRD provinsi dan DPRD kabupaten/kota.’

Ketentuan multitafsir seperti itu justru tidak memberikan jaminan dan kepastian hukum yang adil.

Seharusnya, menurut dia, masa jabatan dewan hanya lima tahun dan otomatis akan berakhir dengan pengucapan sumpah anggota baru, sehingga anggota lama tidak dapat dipilih kembali.

Dengan demikian, hal itu akan membuka kesempatan yang luas bagi warga negara lain untuk dapat menjadi anggota dewan.

Jabatan harus dibatasi

Peneliti Forum Masyarakat Peduli Parlemen (Formappi) Lucius Karus berpandangan, jabatan anggota DPR sama seperti jabatan publik lainnya yang diperoleh melalui mekanisme pemilu.

Sehingga, apa pun alasannya, jabatan itu harus dibatasi demi mencegah terjadinya penyimpangan kekuasaan atau jabatan dan regenerasi.

“Tuntutan pembatasan jabatan anggota DPR kita saat ini kian relevan karena kondisi parpol sebagai sumber rekrutmen mereka bermasalah. Masalah laten parpol bisa digambarkan dengan praktek oligarki yang membuat parpol serasa milik pribadi atau keluarga,” kata Lucius dalam keterangan tertulis kepada Kompas.com.

Tidak adanya pembatasan, kata Lucius, hanya akan melanggengkan praktek oligarki parpol. Parpol akan semakin merasa sangat berkuasa melalui anggotanya di parlemen yang merupakan orang-orang dekat atau bahkan kerabat pemilik atau elite parpol.

“Parpol yang oligarkis selalu menutup ruang bagi kehadiran wajah baru yang sangat mungkin akan mengganggu iklim parpol yang oligarkis tersebut,” ujarnya.

Anggota DPR tak setuju

Sementara itu, politikus PDI Perjuangan Trimedya Panjaitan tak setuju dengan usulan pembatasan masa jabatan anggota dewan.

Ia menilai, jabatan legislatif berbeda dengan jabatan eksekutif yang memiliki wewenang menggunakan anggaran negara.

“Ya enggak perlu dibatasi, sampai rakyat sudah tidak memilih dia,” kata Trimedya di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Kamis (16/1/2020).

Oleh karena itu, ia menyarankan, agar masa jabatan anggota dewan tak perlu dibatasi.

Selain itu, kata dia, yang seharusnya dibatasi adalah masa jabatan kepala daerah. Sebab, sebagai kuasa pengguna anggaran, setiap kepala daerah harus memiliki tolok ukur capaian kinerja.

Senada, Sekretaris Jenderal DPP PPP Arsul Sani menilai, tugas dan fungsi lembaga legislatif berbeda dengan lembaga eksekutif. Sehingga, tidak perlu ada limitasi masa jabatan bagi anggota legislatif.

"Di negara mana pun, kalau anggota parlemen itu karena fungsinya adalah fungsi legislasi, bukan fungsi eksekutif, itu di negara mana pun kan tidak ada yang dibatasi," kata Arsul di gedung DPR, Senayan, Jakarta, Rabu (15/1/2020).

Arsul pun mencontohkan keberadaan anggota dewan di Kongres Amerika Serikat. Di sana, tidak ada limitasi bagi anggota dewan untuk terpilih kembali dalam beberapa periode.

Meski demikian, bukan berarti kebijakan yang ada di dalam UU MD3 tidak bisa direvisi.

“Saya kira kalau soal itu adalah open policy, kebijakan yang terbuka. Sesuai dengan apa maunya pembuat UU saja soal itu,” ujarnya.

Sementara itu, dalam menanggapi permohonan tersebut, Hakim Konstitusi Suhartoyo meminta, agar pemohon memberikan argumentasi konstitusional. Sehingga, secara substansi pernohonan tersebut dapat memperkuat kedudukan hukum Pemohon, yang telah dengan baik menguraikan keterkaitan putusan MK terhadulu dengan pasal-pasal terkait.

Sementara itu, Hakim Konstitusi Arief Hidayat meminta agar Pemohon melakukan studi komparasi terhadap penerapan masa jabatan dari anggota dewan dalam pemerintahan yang menganut paham demokrasi.

“Coba Pemohon lakukan studi komparasi, semisal Amerika yang tidak dibatasi masa jabatan anggota dewannya, kira-kira bentuk kerugian dan keuntungannya seperti apa. Lalu cari pula negara yang dibatasi. Karena, nanti akan terkait dengan hal yang anda inginkan dari permohonan ini terhadap Indonesia, yakni adanya batasan masa jabatan,” terang Arief.

https://nasional.kompas.com/read/2020/01/17/14192401/perlukah-masa-jabatan-anggota-dpr-dibatasi

Terkini Lainnya

Tinggalkan KPK, Dirut Nonaktif PT Taspen Irit Bicara Sembari Bawa Sate

Tinggalkan KPK, Dirut Nonaktif PT Taspen Irit Bicara Sembari Bawa Sate

Nasional
Tanggal 10 Mei 2024 Memperingati Hari Apa?

Tanggal 10 Mei 2024 Memperingati Hari Apa?

Nasional
Usul Prabowo Tambah Kementerian Diharap Bukan Politik Akomodatif

Usul Prabowo Tambah Kementerian Diharap Bukan Politik Akomodatif

Nasional
Pakar Ungkap 'Gerilya' Wacana Tambah Kementerian Cukup Gencar

Pakar Ungkap "Gerilya" Wacana Tambah Kementerian Cukup Gencar

Nasional
Daftar Kepala BIN dari Masa ke Masa, Zulkifli Lubis hingga Budi Gunawan

Daftar Kepala BIN dari Masa ke Masa, Zulkifli Lubis hingga Budi Gunawan

Nasional
Gelar Halalbihalal, MUI Gaungkan Pesan Kemanusiaan untuk Korban Genosida di Gaza

Gelar Halalbihalal, MUI Gaungkan Pesan Kemanusiaan untuk Korban Genosida di Gaza

Nasional
Perjalanan BIN 6 Kali Berganti Nama, dari Brani hingga Bakin

Perjalanan BIN 6 Kali Berganti Nama, dari Brani hingga Bakin

Nasional
'Prabowo Banyak Dikritik jika Tambah Kementerian, Baiknya Jaga Kebatinan Rakyat yang Sedang Sulit'

"Prabowo Banyak Dikritik jika Tambah Kementerian, Baiknya Jaga Kebatinan Rakyat yang Sedang Sulit"

Nasional
Pengamat Nilai Putusan MK Terkait Sengketa Pilpres Jadi Motivasi Kandidat Pilkada Berbuat Curang

Pengamat Nilai Putusan MK Terkait Sengketa Pilpres Jadi Motivasi Kandidat Pilkada Berbuat Curang

Nasional
PPP Papua Tengah Klaim Pegang Bukti Kehilangan 190.000 Suara pada Pileg 2024

PPP Papua Tengah Klaim Pegang Bukti Kehilangan 190.000 Suara pada Pileg 2024

Nasional
Koarmada II Kerahkan 9 Kapal Perang untuk Latihan Operasi Laut Gabungan 2024, Termasuk KRI Alugoro

Koarmada II Kerahkan 9 Kapal Perang untuk Latihan Operasi Laut Gabungan 2024, Termasuk KRI Alugoro

Nasional
Kandidat Versus Kotak Kosong pada Pilkada 2024 Diperkirakan Bertambah

Kandidat Versus Kotak Kosong pada Pilkada 2024 Diperkirakan Bertambah

Nasional
Rencana Prabowo Bentuk 41 Kementerian Dinilai Pemborosan Uang Negara

Rencana Prabowo Bentuk 41 Kementerian Dinilai Pemborosan Uang Negara

Nasional
Di MIKTA Speakers’ Consultation Ke-10, Puan Suarakan Urgensi Gencatan Senjata di Gaza

Di MIKTA Speakers’ Consultation Ke-10, Puan Suarakan Urgensi Gencatan Senjata di Gaza

Nasional
KPK Sebut Kasus Gus Muhdlor Lambat Karena OTT Tidak Sempurna

KPK Sebut Kasus Gus Muhdlor Lambat Karena OTT Tidak Sempurna

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke