Hal itu menanggapi ditetapkannya salah satu komisioner KPU Wahyu Setiawan sebagai tersangka oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) atas dugaan suap terkait penetapan anggota DPR terpilih periode 2019-2024.
"Jika diperlukan, KPU dapat membuat aturan internal yang lebih rinci sebagai turunan dari kode etik dan pedoman perilaku penyelenggaraan Pemilu untuk menutup celah bagi staf atau komisioner KPU untuk melakukan tindakan tercela atau koruptif," kata Ade dalam keterangan pers, Minggu (12/1/2020).
Aktivis antikorupsi yang pernah bertugas di Indonesia Corruption Watch (ICW) ini menyatakan, fungsi pengawasan internal sebaiknya tidak hanya mengawasi kerja administrasi dan keuangan, tapi juga fokus pada perilaku dari staf dan komisioner KPU.
"Perlu dibuat whistle blowing system di internal KPU dan tim khusus yang menangani dan menindaklanjuti setiap informasi atau laporan yang terkait dengan dugaan pelanggaran etik atau indikasi korupsi," kata dia.
Selanjutnya, Ade juga berharap adanya penerapan kebijakan antisuap sesuai dengan Standard Nasional Indonesia (SNI) ISO 37001 tentang Sistem Manajemen Anti-Penyuapan.
"SNI ISO 37001:2016 dirancang untuk membantu lembaga dalam mecegah, mendeteksi dan menangani kasus penyuapan," papar Ade.
"Standar ini juga akan membantu organisasi seperti KPU untuk mewujudkan tata kelola organisasi yang berintegritas, transparan, akuntabel dan professional," lanjut dia.
Terakhir, KPU harus kooperatif mendukung proses penyidikan yang dilakukan KPK.
Ia berharap KPU membuka akses yang luas bagi KPK dalam mendapatkan dokumen, keterangan atau informasi lain yang mendukung proses penyidikan perkara.
"Ini demi penuntasan kasus korupsi yang menimpa Wahyu Setiawan. Tanpa dilakukan penggeledahan pun, pihak KPU sebaiknya secara pro-aktif atau sukarela memberikan dokumen atau informasi yang diminta oleh penyidik KPK," ujar dia.
Dalam kasus ini, Wahyu disebut meminta dana sebesar Rp 900 juta kepada Politikus PDI Perjuangan, Harun Masiku untuk membantu penetapan Harun sebagai anggota DPR 2019-2024 melalui mekanisme pergantian antar-waktu (PAW)
"Untuk membantu penetapan HAR sebagai anggota DPR-RI pengganti antar-waktu, WSE (Wahyu Setiawan) meminta dana operasional Rp 900 juta," kata Wakil Ketua KPK Lili Pintauli Siregar dalam konferensi pers di Gedung Merah Putih KPK, Kamis (9/1/2020).
Atas permintaan tersebut, pada pertengahan Desember 2019, Harun memberikan Rp 200 juta kepada Wahyu Setiawan.
Uang itu diterima Wahyu melalui mantan anggota Badan Pengawas Pemilu yang juga orang kepercayaannya, Agustiani Tio Fredlina, di sebuah pusat perbelanjaan di Jakarta Selatan.
Selanjutnya, pada akhir Desember 2019, Harun kembali menitipkan uang kepada Agustiani sebesar Rp 450 juta. Rencananya, dari jumlah tersebut, sebanyak Rp 400 juta akan diberikan ke Wahyu.
Namun, belum sampai ke tangan Wahyu, KPK telah menangkap pihak-pihak terkait melalui operasi tangkap tangan, Rabu (8/1/2020).
https://nasional.kompas.com/read/2020/01/12/13594241/komisionernya-terjerat-ott-kpu-diminta-evaluasi-internal