Sistem pilkada menjadi pembahasan setelah Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tito Karnavian menyatakan bahwa perlu ada evaluasi untuk memilih kepala daerah.
Hal tersebut disampaikan Hadar dalam diskusi Formappi bertajuk Quo Vadis Pilkada Langsung di Kantor Formappi, Matraman, Jakarta Timur, Minggu (24/11/2019).
"Ide-ide seperti supaya biaya mereka tak terlalu ekstra untuk kampanyenya dan beberapa lainnya yang justru harus dibenahi, bukan pada sistemnya," kata Hadar.
Menurut dia, dalam proses pemilihan memang ada biaya penyelenggaraan yang dikeluarkan oleh negara atau daerah, serta biaya dari calon atau partai politik.
Dia mengatakan, jika alasan pemilu langsung adalah biaya yang mahal, maka dalam hal pembiayaan tersebut harus ada pembatasan yang digunakan.
Pembatasan terutama pengetatan dan pembenahan untuk biaya yang dikeluarkan para calon.
"Pembatasan-pembatasan apa saja yang bisa digunakan, bagaimana pelaporannya?" ujar Hadar.
"Yang terpenting bagaimana pengawasan dan penegakkan hukumnya sehingga pengeluaran dari calon itu hanya yang betul-betul dibutuhkan, bukan untuk membeli suara atau sumbangan untuk dapatkan simpati," kata dia.
Hal-hal seperti itulah yang menurut Hadar harus dilarang dalam beberapa tahapan pilkada.
Penyelenggara juga disebutkannya bisa membantu membiayai dengan membantu membuatkan iklan di media dan membuat sistem teknologi informasi yang akurat untuk penghitungan suara.
"Sehingga calon tak perlu punya saksi di setiap TPS dan hasil dokumen digital itu bisa digunakan ajukan sengketa kalau diperlukan," kata dia.
Sebelumnya, Mendagri Tito mengusulkan mekanisme pilkada secara langsung untuk dievaluasi. Dia meluruskan pernyataannya semata untuk evaluasi dan bukan diwakilkan kepada DPRD.
"Usulan yang saya sampaikan adalah, bukan untuk kembali ke A atau ke B, tetapi adakan evaluasi," kata Tito di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (18/11/2019).
Tito menjelaskan, ia meminta pilkada langsung dievaluasi karena terdapat beberapa masalah dalam penyelenggaraannya.
Menurut dia, pilkada langsung menyebabkan masyarakat di daerah terpolarisasi.
Ia mencontohkan, Pilkada Papua pada 2012 yang ditunda karena terjadi perang suku.
"Saya sendiri sebagai mantan Kapolri, mantan Kapolda itu melihat langsung, misalnya di Papua 2012 saya menjadi Kapolda di sana, Kabupaten Puncak itu empat tahun tertunda pilkadanya karena konflik perang," ujarnya.
Tito juga mengatakan, pilkada langsung juga melihat aspek biaya politik yang tinggi.
Ia menjelaskan, biaya politik tinggi pada pilkada itu mulai dari dana yang dikeluarkan APBN dan APBD, bahkan biaya yang harus dikeluarkan calon kepala daerah.
https://nasional.kompas.com/read/2019/11/24/18222231/eks-komisioner-kpu-nilai-yang-harus-dibenahi-proses-pilkada-bukan-ganti