Hal ini disampaikan Yandri menanggapi, putusan kasasi MA nomor 3096 K/Pid.Sus/2018, yang menyatakan aset first travel atau barang bukti dirampas oleh negara.
"Nah itu enggak boleh, menurut saya itu terlalu zalim, itu kan bukan uang negara, bukan uang hasil proyek, bukan uang APBN, Bukan uang APBD, itu murni uang rakyat," kata Yandri di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (19/11/2019).
Yandri mengatakan, negara seharusnya menjadi fasilitator agar para jemaah yang menjadi korban penipuan mendapatkan apa yang menjadi hak-haknya.
Bahkan, kata dia, jika aset first travel tersebut tak sebanding dengan kerugian para korban, negara bisa turun tangan.
"Justru kalau masih kurang, negara harus mencarikan kekurangannya, toh banyak sumber pendapatan bukan pajak, atau dari CSR atau dari mana, tapi kalau negara justru menambah lebih beban jamaah dengan menyita aset negara, itu saya kira saya kira terlalu zalim," ujar dia.
Sebelumnya, majelis hakim MA yang memutus gugatan kasasi pada kasus First Travel menyatakan, tak akan mengembalikan barang bukti yang disita dari bos perusahaan tersebut.
Sebaliknya, barang bukti tersebut akan disita dan dirampas oleh negara untuk kemudian dilelang ke publik.
Namun, sebagian kecil barang itu tidak akan dilelang, tetapi diserahkan kepada instansi yang berwenang.
Sejumlah barang yang disita pun diketahui merupakan barang mewah dengan merek terkenal, misalnya kacamata merek Dior, Chanel, Mont Blanc, Ray Ban, Gucci, hingga Charles and Keith.
Ada pula ikat pinggang merk Louis Vuiton, Hermes, dan Gucci. Tak luput, jam tangan merek Richard Mille, Apple, dan Guess.
Sementara itu, barang bukti yang tidak akan dilelang yaitu beberapa airsoft gun. Barang bukti tersebut akan dirampas dan diserahkan kepada Polri.
https://nasional.kompas.com/read/2019/11/19/14091131/komisi-viii-sesalkan-aset-first-travel-tak-diserahkan-ke-korban-penipuan