Salin Artikel

Imparsial: Intoleransi Masih Jadi Masalah yang Terus Berulang di Indonesia

JAKARTA, KOMPAS.com - Wakil Direktur Imparsial Ghufron Mabruri mengatakan, intoleransi masih menjadi tantangan terkini yang terus berulang terjadi di Indonesia.

Menurut dia, berbagai praktik intoleransi yang terjadi di Indonesia setiap tahunnya cenderung memiliki pola yang sama.

Hal itu disampaikan oleh Ghufron dalam konferensi pers peringatan Hari Toleransi Internasional yang jatuh pada Sabtu (16/11/2019) kemarin.

"Ini persoalan yang sebenarnya muncul dari awal era 2000-an yang setiap tahun mengalami keberulangan. Misalnya kasus tentang penutupan tempat ibadah kelompok minoritas, pelarangan pembubaran kegiatan keagamaan tertentu, ini kan kasus-kasus yang setiap tahun sering terjadi, terus berulang di berbagai tempat," kata Ghufron di kantor Imparsial, Jakarta, Minggu (17/11/2019).

Menurut Ghufron, setidaknya ada dua persoalan yang menyebabkan praktik intoleransi masih berlangsung di Indonesia.

Pertama, aturan hukum atau kebijakan lainnya yang saling bertentangan.

Saat ini memang ada aturan yang menjamin hak atas kebebasan beragama atau berkeyakinan.

Namun, di sisi lain, ada aturan dan kebijakan yang bisa mengancam kebebasan beragama dan berkeyakinan, tapi tetap dipertahankan.

Misalnya, Undang-Undang PNPS Nomor 1 Tahun 1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan/Penodaan Agama, Surat Keputusan Bersama (SKB) 3 Menteri Tahun 2008 tentang Ahmadiyah, Peraturan Bersama (PBM) 2 Menteri Tahun 2006 tentang Rumah Ibadah.

Serta keberadaan berbagai peraturan di daerah seperti SK Gubernur, Bupati, Perda atau SKB lainnya yang bersifat membatasi kebebasan beragama atau berkeyakinan.

"Selain ada problem hukum yang disharmoni, regulasi semacam ini juga digunakan sebagai instrumen untuk melegitimasi tindakan melakukan praktik intoleransi," kata dia.

Hal itu, kata Ghufron, diperparah dengan minimnya ketegasan dan keadilan penegakan hukum terhadap pelaku aksi intoleran. Selain itu, perlindungan terhadap korban juga masih minim.

"Nah, sehingga tantangan yang perlu ditangani ke depan selain mencabut atau merevisi peraturan perundangan, kebijakan yang membatasi kebebasan beragama dan berkeyakinan, tindakan hukum yang tegas dan adil juga penting didorong," kata Ghufron.

"Ini sebagai salah satu jalan untuk memastikan bahwa setiap orang di masyarakat tanpa membedakan latar belakangnya memiliki hak sama untuk beragama dan berkeyakinan secara bebas dan adil. Bebas dari diskriminasi, bentuk pemaksaan dari kelompok lain dengan alasan apapun," lanjut dia.

Ghufron juga menegaskan pentingnya reformasi hukum dan kebijakan yang berlandaskan pada nilai hak asasi manusia.

Namun kenyataannya, kata Ghufron, pemerintah juga masih mengabaikan nilai tersebut.

"Misalnya, rencana pelarangan ASN di kementerian memakai pakaian tertentu yang menjadi perbincangan belakangan ini, yang dalam pandangan kita tidak hanya membatasi ekspresi keagamaan seseorang tapi berisiko labelisasi orang," kata dia.

Ghufron juga menyoroti kebijakan portal aduan terkait praktik radikalisme yang dilakukan oleh ASN.

Ia melihat, meski portal itu sudah menentukan 11 poin yang masuk dalam kategori aduan, kebijakan ini bisa disalahgunakan oleh pihak tertentu.

"Misalnya ini bisa menjadi instrumen kontrol politik terhadap ASN. Dan poin-poinnya bisa didefinisikan secara subjektif oleh si pelapor. Jadi bisa dijadikan sebagaI alat pembatasan," ujar Ghufron.

"Oleh karena itu aturan hukum dan kebijakan yang dibuat pemerintah jangan sampai memunculkan masalah baru yang semakin berpotensi membangun benih intoleransi lagi," sambung dia.

https://nasional.kompas.com/read/2019/11/17/16015521/imparsial-intoleransi-masih-jadi-masalah-yang-terus-berulang-di-indonesia

Terkini Lainnya

Hadiri Halal Bihalal PBNU, Gibran Disambut Gus Yahya dan Gus Ipul

Hadiri Halal Bihalal PBNU, Gibran Disambut Gus Yahya dan Gus Ipul

Nasional
Gempa Garut, Tenda Pengungsian Didirikan di Halaman RS Sumedang

Gempa Garut, Tenda Pengungsian Didirikan di Halaman RS Sumedang

Nasional
Anies Diprediksi Bakal Terima Tawaran Nasdem Jadi Cagub DKI jika Tak Ada Panggung Politik Lain

Anies Diprediksi Bakal Terima Tawaran Nasdem Jadi Cagub DKI jika Tak Ada Panggung Politik Lain

Nasional
9 Kabupaten dan 1 Kota  Terdampak Gempa M 6,2 di Garut

9 Kabupaten dan 1 Kota Terdampak Gempa M 6,2 di Garut

Nasional
KPK Sebut Dokter yang Tangani Gus Muhdlor Akui Salah Terbitkan Surat 'Dirawat Sampai Sembuh'

KPK Sebut Dokter yang Tangani Gus Muhdlor Akui Salah Terbitkan Surat "Dirawat Sampai Sembuh"

Nasional
BNPB: Tim Reaksi Cepat Lakukan Pendataan dan Monitoring Usai Gempa di Garut

BNPB: Tim Reaksi Cepat Lakukan Pendataan dan Monitoring Usai Gempa di Garut

Nasional
BNPB: Gempa M 6,2 di Garut Rusak Tempat Ibadah, Sekolah, dan Faskes

BNPB: Gempa M 6,2 di Garut Rusak Tempat Ibadah, Sekolah, dan Faskes

Nasional
PBNU Gelar Karpet Merah Sambut Prabowo-Gibran

PBNU Gelar Karpet Merah Sambut Prabowo-Gibran

Nasional
KPK Nonaktifkan Dua Rutan Buntut Pecat 66 Pegawai yang Terlibat Pungli

KPK Nonaktifkan Dua Rutan Buntut Pecat 66 Pegawai yang Terlibat Pungli

Nasional
BNPB: 4 Orang Luka-luka Akibat Gempa M 6,2 di Kabupaten Garut

BNPB: 4 Orang Luka-luka Akibat Gempa M 6,2 di Kabupaten Garut

Nasional
Prahara di KPK: Usai Laporkan Albertina Ho, Nurul Ghufron Dilaporkan Novel Baswedan Cs Ke Dewas

Prahara di KPK: Usai Laporkan Albertina Ho, Nurul Ghufron Dilaporkan Novel Baswedan Cs Ke Dewas

Nasional
BNPB: Gempa M 6,2 di Kabupaten Garut Rusak 27 Unit Rumah, 4 di Antaranya Rusak Berat

BNPB: Gempa M 6,2 di Kabupaten Garut Rusak 27 Unit Rumah, 4 di Antaranya Rusak Berat

Nasional
Tanggal 1 Mei 2024 Memperingati Hari Apa?

Tanggal 1 Mei 2024 Memperingati Hari Apa?

Nasional
Tanggal 30 April 2024 Memperingati Hari Apa?

Tanggal 30 April 2024 Memperingati Hari Apa?

Nasional
Pengamat: Nasib Ganjar Usai Pilpres Tergantung PDI-P, Anies Beda karena Masih Punya Pesona Elektoral

Pengamat: Nasib Ganjar Usai Pilpres Tergantung PDI-P, Anies Beda karena Masih Punya Pesona Elektoral

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke