Jaksa menanyakan hal ini dalam persidangan mantan anggota Komisi II, Markus Nari yang menjadi terdakwa dalam kasus korupsi e-KTP ini.
Pertama, jaksa Burhanuddin bertanya ke mantan Direktur Utama PT Sucofindo, Arief Safari soal pekerjaan yang dilakukan perusahaannya saat itu dalam proyek e-KTP.
PT Sucofindo tergabung dalam konsorsium PNRI.
"Yang kami kerjakan itu utama ada beberapa hal, Pak. Seperti bimbingan teknis, pendampingan teknis. Nilai pekerjaannya 5,84 persen, Pak," kata Arief di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, Jakarta, Senin (14/10/2019).
Arief juga mengonfirmasi perusahaannya mendapatkan pekerjaan tambahan dari anggota Konsorsium PNRI lainnya, Quadra Solution.
Menurut Arief, pekerjaan itu menyangkut, penyiapan sistem perangkat keras, instalasi, aktivasi hingga labelling peralatan.
"Kalau total seluruhnya (pekerjaan), keuntungannya berapa?" tanya jaksa Burhanuddin.
"Pekerjaan utama kami rugi Rp 9,7 Miliar. Namun, kalau dari pekerjaan tambahan kami untung Rp 17,9 miliar. Jadi total Sucofindo untung total Rp 8,23 miliar atau 3 persen dari pendapatan," kata dia.
Selain ke Arief, jaksa Burhanuddin juga bertanya ke mantan Kepala Divisi Keuangan dan Akuntansi PT LEN Industri, Yani Kurniati.
Yani mengatakan, perusahaan itu dalam proyek e-KTP menyediakan alat perekaman data dengan nilai pekerjaan sekitar Rp 500 miliar.
"Terus PT LEN sendiri saat melakukan pembukuan itu apakah ada keuntungan?" tanya jaksa Burhanuddin.
"Di e-KTP sendiri Pak itu ada terjadi rugi, loss money, tetapi untuk yang alat pembacanya ada nambah jadi subsidi silang ada laba sedikit. Saya lupa persisnya, kalau ruginya sekitar Rp 10 miliar. Yang labanya Rp 3,45 miliar, itu setelah dikompensasi," kata dia.
Jaksa Burhanuddin kemudian bertanya apakah ada aliran uang yang diterima direksi PT LEN Industri saat itu yang disebut sebagai uang Lebaran.
Yani pun mengaku tidak mengetahui soal maksud uang Lebaran itu.
"Ada pengambilan dana operasional direksi. Saya pengeluarannya enggak tahu untuk apa, Pak. Saya hanya mengeluarkan tapi enggak tahu dipakainya untuk apa," ucap dia.
Kemudian, jaksa Burhanuddin juga bertanya ke mantan Ketua Manajemen Bersama Konsorsium PNRI, Andreas Ginting.
"Apakah ada uang yang dialirkan ke pihak lain? Yang tidak ada kaitannya dengan proyek e-KTP?" tanya jaksa Burhanuddin.
"Seingat saya memang ada, PT Mega Lestari Unggul itu. Waktu itu adalah permintaan dari anggota konsorsium PT Sandipala untuk transfer bagian pekerjaannya itu ke nomor rekening PT Mega Lestari Unggul," ucap Andreas.
Meski demikian, Andreas lupa berapa uang yang ditransfer ke rekening perusahaan itu tersebut.
Dalam kasus ini, Markus didakwa memperkaya diri sebesar 1,4 juta dollar Amerika Serikat (AS) dalam pengadaan proyek e-KTP.
Menurut jaksa, Markus bersama pihak lainnya dan sejumlah perusahaan yang ikut dalam konsorsium pemenang pekerjaan paket e-KTP juga dianggap merugikan keuangan negara sebesar Rp 2,31 triliun.
Perhitungan kerugian keuangan negara itu berdasarkan hasil audit Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) dengan Nomor: SR-338/D6/01/2016 tanggal 11 Mei 2016.
Menurut jaksa, Markus juga ikut berperan memengaruhi proses penganggaran dan pengadaan paket penerapan e-KTP secara nasional tahun anggaran 2011-2013.
Perbuatan Markus dalam perkara ini juga memperkaya orang lain dan korporasi.
Terkait korporasi, beberapa di antaranya adalah PT Mega Lestari Unggul yang merupakan holding company PT Sandipala Artha Putra diperkaya sekitar Rp 148,86 miliar; PT LEN Industri sejumlah Rp 3,41 miliar; dan PT Sucofindo sebesar Rp 8,23 miliar.
https://nasional.kompas.com/read/2019/10/14/15541651/sidang-markus-nari-jaksa-tanya-saksi-soal-keuntungan-korporasi-dalam-proyek