Violla menegaskan, hal ini demi mencegah terjadinya kekisruhan seperti yang terjadi belakangan ini, khususnya menyangkut protes publik terhadap pembentukan sejumlah undang-undang.
"Pembentukan undang-undang di akhir periode ini banyak sekali kecacatan formil yang pertama undang-undang KPK, dia tidak masuk ke dalam Prolegnas tapi kemudian tiba-tiba dibahas dan juga disahkan, seperti itu," kata Violla dalam diskusi di kantor Kode Inisiatif, Jakarta, Rabu (2/10/2019).
Kemudian, ia menyoroti minimnya keterbukaan dan kemudahan akses dokumen-dokumen terkait rancangan undang-undang, seperti naskah akademik, daftar inventarisasi masalah, daftar kehadiran dan sebagainya.
"Kalau kita buka website DPR susah sekali untuk mencari sekadar naskah akademik kemudian catatan agenda, risalah rapat," katanya.
Ia juga mengingatkan, agar proses pembentukan undang-undang melibatkan partisipasi publik yang seluas-luasnya. Khususnya menyangkut pihak-pihak yang berkaitan dengan undang-undang.
"Jangan sampai lagi periode selanjutnya menutup partisipasi dari berbagai pihak, apalagi yang terkait undang-undang itu langsung, stakeholdersnya langsung. Seperti KPK, dia tidak mengetahui perubahan-perubahan yang akan ditambahkan atau diubah dalam revisi undang-undang," katanya.
Padahal, kata dia, azas formil menyangkut perencanaan pembentukan undang-undang yang disusun matang dalam Prolegnas; keterbukaan dan kemudahan akses dokumen terkait pembentukan undang-undang; dan pelibatan publik merupakan amanat Undang-Undang tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (PPP).
"Kami harap undang-undang PPP ini seharusnya bisa jadi salah satu pegangan untuk membantu DPR dalam menata dan juga memperbaiki produk-produk legislasi ke depan," katanya.
https://nasional.kompas.com/read/2019/10/02/23062851/cegah-polemik-dpr-diminta-taat-azas-formil-dalam-menyusun-uu