Salin Artikel

Melihat Celah KPU untuk Larang Eks Koruptor "Nyalon" di Pilkada 2020

Pemicunya, ditetapkannya Bupati Kudus Muhammad Tamzil sebagai tersangka korupsi.

Status tersangka yang disandangnya akhir pekan lalu berkaitan dengan dugaan suap dan gratifikasi jual beli jabatan.

Dulu, sebelum terpilih menjadi bupati untuk kedua kalinya, Tamzil mendekam di penjara atas kasus yang sama.

Berkaca dari kasus itu, KPU merasa perlu melarang eks koruptor maju sebagai calon kepala daerah. Tujuan akhirnya, supaya rakyat tak salah pilih atas pemimpin mereka.

Hingga saat ini, KPU masih memikirkan sejumlah alternatif yang mungkin bisa dilakukan.

1. Bukan gagasan baru

Wacana larangan eks koruptor mencalonkan diri sebagai peserta pemilu bukan hanya sekali dilemparkan KPU.

Jelang Pemilu Serentak 2019 lalu, KPU pernah membuat aturan yang melarang mantan napi korupsi maju sebagai calon legislatif. Hal ini dituangkan dalam Peraturan KPU (PKPU) Nomor 20 Tahun 2018.

PKPU ini menuai polemik lantaran dianggap menyimpang dari Undang-undang Pemilu. UU Pemilu Nomor 7 Tahun 2017 sama sekali tidak memuat larangan eks koruptor nyaleg.

Aturan ini dianggap merugikan sebagian pihak. Sebab, mereka tak bisa maju di Pemilu 2019 karena tak diloloskan KPU sebagai caleg.

Sebagian dari mereka menggugat ke Bawaslu. Oleh Bawaslu, para eks koruptor ini justru dinyatakan lolos sebagai caleg.

Adapun Bawaslu berpedoman pada UU Nomor 7 Tahun 2017 yang tak mengatur larangan eks koruptor nyaleg. Sementara KPU berpedoman pada PKPU Nomor 20 Tahun 2018 yang sah secara hukum.

Dua putusan penyelenggara pemilu yang berbeda ini sempat menimbulkan ketidakpastian hukum.

Di saat bersamaan, sebagian pihak yang merasa dirugikan juga menggugat putusan KPU ke Agung (MA). MA mengabulkan gugatan tersebut dan meminta KPU untuk menghapus larangan eks koruptor nyaleg.

KPU lantas membatalkan larangan tersebut. Dengan kata lain, mantan napi korupsi boleh mencalonkan diri lagi.

Akhirnya, ada 81 eks koruptor yang maju berkontestasi di Pemilu 2019.

2. Revisi UU hingga pencabutan hak politik

"Revisi Undang-Undang Pilkada, itu yang paling ideal sebenarnya," kata Komisioner KPU Pramono Ubaid Tanthowi saat dihubungi, Senin (29/7/2019).

Menurut Pramono, revisi UU Pilkada diperlukan lantaran Peraturan KPU (PKPU) saja tak cukup kuat untuk memberlakukan aturan itu.

Dikhawatirkan, jika aturan ini hanya dimuat di PKPU, akan ada pihak yang tak terima dan kembali menggugat di MA sebagaimana yang terjadi pada PKPU Nomor 20 Tahun 2018.

Namun, sekalipun nantinya aturan ini hanya dicantumkan dalam PKPU, kata Pramono, setidaknya ada dukungan dari DPR, pemerintah, dan partai politik.

Jika seluruh parpol setuju soal larangan caleg eks koruptor maju sebagai peserta pemilu, Pramono yakin, tidak ada satupun. peserta pemilu yang berstatus eks koruptor.

"Kalau partai politik tingkat pusatnya menyetujui peraturan KPU (soal larangan eks koruptor mencalonkan diri) itu otomatis mereka tidak akan mengajukan calon-calon yang memang mantan napi koruptor," katanya.

Alternatif lain bisa dilakukan oleh Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor).

Pengadilan bisa saja memberi hukuman ke terdakwa korupsi dengan mencabut hak politik mereka seumur hidup.

Dengan begitu, mantan napi korupsi tidak akan punya kesempatan lagi untuk terjun ke politik.

3. Usulan Perppu

Pakar Hukum Tata Negara Feri Amsari mengatakan, Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) bisa dijadikan salah satu alternatif untuk membuat aturan yang melarang mantan narapidana korupsi mencalonkan diri di Pilkada 2020.

Perppu dinilai bisa menjadi payung hukum yang kuat yang menyelesaikan persoalan pencalonan eks koruptor di kontestasi politik.

"Pilihannya adalah meminta Presiden mengeluarkan Perppu karena kegentingan yang memaksa karena daerah sedang dijangkiti kepala daerah yang berasal dari koruptor," kata Feri kepada Kompas.com, Selasa (30/7/2019).

Feri mengatakan, dirinya setuju dengan gagasan KPU menggulirkan kembali wacana pelarangan eks koruptor mencalonkan diri sebagai peserta pemilu.

Tetapi, menurut dia, KPU harus didukung oleh pihak-pihak terkait, seperti Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu).

Kedua penyelenggara pemilu itu tidak boleh lagi silang pendapat, supaya wacana ini tidak berakhir sama dengan Peraturan KPU (PKPU) Nomor 20 Tahun 2018.

"Untuk itu KPU perlu betul bekerja sama dengan KPK untuk meyakinkan Bawaslu," ujar Direktur Pusat Studi Konstitusi (PUSaKO) Fakultas Hukum Universitas Andalas itu.

4. Dukungan DPR

Wakil Ketua Komisi II DPR Ahmad Riza Patria menyambut baik wacana KPU untuk melarang eks koruptor mencalonkan diri sebagai kandidat dalam Pilkada 2020.

"Kami juga di DPR sepakat bahwa hal-hal seperti itu dalam rangka pemberantasan korupsi dan sebagainya. Kita tidak ragu dan kita mendukung segala bentuk pemberantasan korupsi," kata Riza saat dihubungi wartawan, Selasa (30/7/2019).

Namun, Riza mengatakan, dalam Undang-undang Pilkada, diatur bahwa mantan narapidana korupsi boleh mengikuti pilkada.

Menurut dia, jika KPU ingin mantan koruptor tidak bisa mengikuti pilkada, UU Pilkada harus direvisi.

"KPU minta ke pemerintah, dan ke DPR untuk merevisi UU pilkada," ujar dia.

Riza mengatakan, KPU bisa meminta kepada Presiden Joko Widodo untuk mengeluarkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang (Perpu) tentang larangan mantan koruptor mengikuti pilkada.

https://nasional.kompas.com/read/2019/07/31/06393431/melihat-celah-kpu-untuk-larang-eks-koruptor-nyalon-di-pilkada-2020

Terkini Lainnya

Orang Dekat Prabowo-Jokowi Diprediksi Isi Kabinet: Sjafrie Sjamsoeddin, Dasco, dan Maruarar Sirait

Orang Dekat Prabowo-Jokowi Diprediksi Isi Kabinet: Sjafrie Sjamsoeddin, Dasco, dan Maruarar Sirait

Nasional
Prabowo Diisukan Akan Nikahi Mertua Kaesang, Jubir Bilang 'Hoaks'

Prabowo Diisukan Akan Nikahi Mertua Kaesang, Jubir Bilang "Hoaks"

Nasional
Momen Jokowi dan Menteri Basuki Santap Mie Gacoan, Mentok 'Kepedasan' di Level 2

Momen Jokowi dan Menteri Basuki Santap Mie Gacoan, Mentok "Kepedasan" di Level 2

Nasional
Ditolak Partai Gelora Gabung Koalisi Prabowo, PKS: Jangan Terprovokasi

Ditolak Partai Gelora Gabung Koalisi Prabowo, PKS: Jangan Terprovokasi

Nasional
Kapolri Bentuk Unit Khusus Tindak Pidana Ketenagakerjaan, Tangani Masalah Sengketa Buruh

Kapolri Bentuk Unit Khusus Tindak Pidana Ketenagakerjaan, Tangani Masalah Sengketa Buruh

Nasional
Kapolri Buka Peluang Kasus Tewasnya Brigadir RAT Dibuka Kembali

Kapolri Buka Peluang Kasus Tewasnya Brigadir RAT Dibuka Kembali

Nasional
May Day 2024, Kapolri Tunjuk Andi Gani Jadi Staf Khusus Ketenagakerjaan

May Day 2024, Kapolri Tunjuk Andi Gani Jadi Staf Khusus Ketenagakerjaan

Nasional
Jumlah Menteri dari Partai di Kabinet Prabowo-Gibran Diprediksi Lebih Banyak Dibanding Jokowi

Jumlah Menteri dari Partai di Kabinet Prabowo-Gibran Diprediksi Lebih Banyak Dibanding Jokowi

Nasional
Menparekraf Ikut Kaji Pemblokiran 'Game Online' Mengandung Kekerasan

Menparekraf Ikut Kaji Pemblokiran "Game Online" Mengandung Kekerasan

Nasional
Jokowi di NTB Saat Buruh Aksi 'May Day', Istana: Kunker Dirancang Jauh-jauh Hari

Jokowi di NTB Saat Buruh Aksi "May Day", Istana: Kunker Dirancang Jauh-jauh Hari

Nasional
Jokowi di NTB Saat Massa Buruh Aksi 'May Day' di Istana

Jokowi di NTB Saat Massa Buruh Aksi "May Day" di Istana

Nasional
Seorang WNI Meninggal Dunia Saat Mendaki Gunung Everest

Seorang WNI Meninggal Dunia Saat Mendaki Gunung Everest

Nasional
Kasus Korupsi SYL Rp 44,5 Miliar, Bukti Tumpulnya Pengawasan Kementerian

Kasus Korupsi SYL Rp 44,5 Miliar, Bukti Tumpulnya Pengawasan Kementerian

Nasional
Keterangan Istri Brigadir RAT Beda dari Polisi, Kompolnas Tagih Penjelasan ke Polda Sulut

Keterangan Istri Brigadir RAT Beda dari Polisi, Kompolnas Tagih Penjelasan ke Polda Sulut

Nasional
Jokowi: Selamat Hari Buruh, Setiap Pekerja adalah Pahlawan

Jokowi: Selamat Hari Buruh, Setiap Pekerja adalah Pahlawan

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke