Salin Artikel

Setara Institute: Pembubaran HTI Belum Jadi Solusi Kurangi Penyebaran Radikalisme di Kampus

Salah satu kesimpulan yang dihasilkan, pembubaran organisasi Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) tidak banyak memengaruhi penurunan penyebaran radikalisme di kampus-kampus.

"Pembubaran HTI pada kenyataannya tidak mengurangi derajat eksklusivitas wacana dan gerakan keislaman di perguruan tinggi, pun tidak menjadi solusi kunci bagi penyebaran radikalisme di perguruan ringgi atau paling tidak penyebaran narasi intoleransi," ujar Direktur Riset Setara Institute Halili dalam sebuah diskusi di Hotel Ibis Thamrin, Jakarta, Jumat (31/5/2019).

Halili mengatakan, gerakan keagamaan eksklusif masih gencar dilakukan oleh kelompok-kelompok keislaman tertentu. Kelompok-kelompok itu memiliki gerakan salafi-wahabi, tarbiyah, dan tahririyah.

Penelitian ini dilakukan di 10 universitas, seperti Universitas Indonesia, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, Institut Teknologi Bandung, Universitas Islan Negeri Sunan Gunung Djati Bandung, Institut Pertanian Bogor, Universitas Gadjah Mada, Universitas Negeri Yogyakarta, Universitas Brawijaya, dan Universitas Airlangga. Penelitian itu dilakukan pada rentang Februari-April 2019.

Temuan-temuan

Ada beberapa temuan yang membuat Setara Institute membuat kesimpulan seperti itu.

Pertama, mayoritas mahasiswa yang beragama Islam membuat kegiatan mahasiswa non-Muslim tidak banyak terakomodasi.

"Dalam keadaan itu, praktik intoleransi mengemuka, terutama berkenaan dengan tata cara berpakaian, terbatasnya akses mahasiswa non-Muslim atas aktivitas peribadatan, dan tidak tersedianya fasilitas tempat ibadah," kata dia.

Temuan lain adalah wacana keagamaan di kalangan mahasiswa sebagian besar dikuasai kelompok tarbiyah dan eks-HTI yang bertransformasi menjadi gerakan tarbiyah.

Halili mengatakan, gerakan tarbiyah ini kemudian menguasai organisasi kemahasiswaan intrakampus. Dengan demikian, dinamika politik mahasiswa di kampus beredar anggapan bahwa non-Muslim tidak boleh memimpin organisasi.

Ancaman bagi Pancasila

Halili menyebut kampus sejatinya adalah miniatur dari Indonesia. Di dalamnya terdapat mahasiswa dari beragam latar belakang suku, agama, dan ras.

Penyebaran narasi intoleransi dan radikalisme di kampus bisa disebut sebagai ancaman bagi Pancasila.

"Dalam situasi tertentu, kondisi ini sesungguhnya berpotensi menjadi ancaman bagi Pancasila, demokrasi, dan NKRI," kata dia.

Untungnya, ada harapan dari beberapa kampus yang telah melakukan upaya untuk meningkatkan semangat toleransi di dalam kampus.

Halili mengatakan aktor-aktor kunci di perguruan tinggi memainkan peranan penting dalam hal ini.

Misalnya yang terjadi di Institut Pertanian Bogor (IPB), di bawah kepemimpinan Rektor Arif Satria, IPB membuka masjid di kampus untuk seluruh paham keislaman.

Kemudian juga membuat program IPB bersholawat dan melakukan sentralisasi kegiatan keislaman di masjid.

Dengan begitu, kegiatan keagamaan di tempat-tempat tertutup tidak boleh dilakukan.

Ada juga Universitas Negeri Yogyakarta yang mengadakan konser band di kampus dan event UNY njathil.

Halili mengatakan jathilan dalam hal ini sering dipandang kelompok Islam eksklusif sebagai tradisi yang bisa merusak akidah.

https://nasional.kompas.com/read/2019/05/31/18560781/setara-institute-pembubaran-hti-belum-jadi-solusi-kurangi-penyebaran

Terkini Lainnya

Menkes: Indonesia Kekurangan 29.000 Dokter Spesialis, Per Tahun Cuma Produksi 2.700

Menkes: Indonesia Kekurangan 29.000 Dokter Spesialis, Per Tahun Cuma Produksi 2.700

Nasional
Kepala Bappenas: Progres Pembangunan IKN Tahap 1 Capai 80,82 Persen

Kepala Bappenas: Progres Pembangunan IKN Tahap 1 Capai 80,82 Persen

Nasional
Hakim MK Cecar KPU RI Soal Ubah Aturan Tenggat Waktu Rekapitulasi Suara Pileg

Hakim MK Cecar KPU RI Soal Ubah Aturan Tenggat Waktu Rekapitulasi Suara Pileg

Nasional
Pakar Hukum: PTUN Bisa Timbulkan Presen Buruk Jika Kabulkan Gugatan PDI-P

Pakar Hukum: PTUN Bisa Timbulkan Presen Buruk Jika Kabulkan Gugatan PDI-P

Nasional
Gerindra: Pak Prabowo Bisa Jadi Presiden Terpilih Berkat Doa PKS Sahabat Kami

Gerindra: Pak Prabowo Bisa Jadi Presiden Terpilih Berkat Doa PKS Sahabat Kami

Nasional
Pakai Pelat Palsu Anggota DPR, Pemilik Alphard dalam Kasus Brigadir RAT Bakal Dipanggil MKD

Pakai Pelat Palsu Anggota DPR, Pemilik Alphard dalam Kasus Brigadir RAT Bakal Dipanggil MKD

Nasional
Jokowi Soroti Banyak Program Pemerintah Pusat dan Daerah yang Tak Sinkron

Jokowi Soroti Banyak Program Pemerintah Pusat dan Daerah yang Tak Sinkron

Nasional
KPK Tak Hadir, Sidang Gugatan Status Tersangka Gus Muhdlor Ditunda

KPK Tak Hadir, Sidang Gugatan Status Tersangka Gus Muhdlor Ditunda

Nasional
Sebut Prabowo Tak Miliki Hambatan Psikologis Bertemu PKS, Gerindra: Soal Teknis Saja

Sebut Prabowo Tak Miliki Hambatan Psikologis Bertemu PKS, Gerindra: Soal Teknis Saja

Nasional
Saat Jokowi Pura-pura Jadi Wartawan lalu Hindari Sesi 'Doorstop' Media...

Saat Jokowi Pura-pura Jadi Wartawan lalu Hindari Sesi "Doorstop" Media...

Nasional
Dampak UU DKJ, Usia Kendaraan di Jakarta Bakal Dibatasi

Dampak UU DKJ, Usia Kendaraan di Jakarta Bakal Dibatasi

Nasional
Eks Bawahan SYL Mengaku Beri Tip untuk Anggota Paspampres Jokowi

Eks Bawahan SYL Mengaku Beri Tip untuk Anggota Paspampres Jokowi

Nasional
Jokowi Harap Presiden Baru Tuntaskan Pengiriman Alkes ke RS Sasaran

Jokowi Harap Presiden Baru Tuntaskan Pengiriman Alkes ke RS Sasaran

Nasional
Pakar Hukum Sebut Kecil Kemungkinan Gugatan PDI-P ke KPU Dikabulkan PTUN

Pakar Hukum Sebut Kecil Kemungkinan Gugatan PDI-P ke KPU Dikabulkan PTUN

Nasional
Hakim Agung Gazalba Saleh Didakwa Terima Gratifikasi Rp 650 Juta bersama Pengacara

Hakim Agung Gazalba Saleh Didakwa Terima Gratifikasi Rp 650 Juta bersama Pengacara

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke