Menurut ICW, setidaknya, ada tiga pola yang sering digunakan pihak tertentu untuk melakukan praktik suap.
"Tertangkapnya seorang hakim di Balikpapan, semakin menguatkan kesimpulan bahwa ada persoalan serius dalam konteks pengawasan di lingkungan Mahkamah Agung," ujar aktivis ICW Kurnia Ramadhana dalam keterangan tertulis, Sabtu (4/5/2019).
Pola pertama sering terjadinya praktik korupsi adalah saat pemohon mendaftarkan perkara di pengadilan.
Pada saat ini, korupsi terjadi dalam bentuk permintaan uang jasa.
Ini dimaksudkan agar salah satu pihak mendapatkan nomor perkara lebih awal, lalu oknum di pengadilan menjanjikan dapat mengatur perkara tersebut.
Pola kedua pada tahap sebelum persidangan. Korupsi pada tahap ini untuk menentukan majelis hakim yang dikenal dapat mengatur putusan.
Sementara, pola ketiga terjadi saat persidangan. Modus ini yang paling sering dilakukan, caranya dengan menyuap para hakim agar putusannya menguntungkan salah satu pihak.
"Gambaran pola tersebut patut untuk dijadikan perhatian bersama, agar ke depan tidak ada lagi pihak yang menambah catatan kelam dunia pengadilan Indonesia," katanya.
Sebelumnya, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menetapkan hakim di Pengadilan Negeri Balikpapan, Kayat, sebagai tersangka. Kayat diduga menerima suap terkait penanganan perkara di PN Balikpapan pada 2018.
Selain Kayat, KPK juga menetapkan Sudarman dan seorang advokat bernama Jhonson Siburian. Keduanya diduga sebagai pihak pemberi suap.
Diduga, penyerahan uang kepada Kayat sebagai fee untuk membebaskan terdakwa Sudarman dari perkara pidana.
Dalam operasi tangkap tangan, KPK menyita uang sebesar Rp 227.500.000 dari total Rp 500 juta yang dijanjikan oleh Sudarman.
https://nasional.kompas.com/read/2019/05/05/11264461/menurut-icw-ini-tiga-pola-korupsi-peradilan