Salin Artikel

Kisah Indonesia dan Uni Soviet, dari KRI Irian 201 hingga Gelora Bung Karno

KOMPAS.com - Hari ini 59 tahun lalu, tepatnya 26 Februari 1960, Pemerintah Uni Soviet, melalui Perdana Menteri Nikita Khrushchev mengemukakan kepada publik bahwa Soviet mendukung Indonesia, baik itu pembangunan maupun ekonomi.

Pernyataan ini membawa perubahan bagi hubungan dan kerja sama kedua negara.

Sebelumnya, sebagai negara yang baru merdeka, Indonesia tak begitu dilirik Uni Soviet di masa kepemimpinan Stalin.

Hubungan harmonis kedua negara mulai berkembang ketika usai Perang Dunia II. Pada 1950, Indonesia dan Uni Soviet menjalin hubungan diplomatik.

Soviet membutuhkan sekutu setelah perang, sedangkan Indonesia berupaya mencari dukungan untuk menghilangkan bekas-bekas penjajahan Belanda.

Dilansir dari Russia Beyond The Headline, Pemerintah Soviet mulai membicarakan Indonesia di tingkat Komite Pusat (Partai Komunis Uni Soviet) pada 1955, ketika penandatanganan Dasasila Bandung (sepuluh poin hasil pertemuan Konferensi Asia-Afrika).

Peristiwa itu menarik seluruh perhatian dunia. Sejak itu, nama presiden Indonesia, Soekarno, mulai sering muncul di surat-surat kabar Soviet.

Secara perlahan, Indonesia mulai menarik perhatian Soviet. Hubungan diplomatik kedua negara semakin kuat.

Di tengah gencarnya Perang Dingin, Indonesia tetap bersikukuh tak memihak dan mempertahankan sikap nonbloknya.

Bahkan, Indonesia mempelopori Gerakan Non Blok (GNB) di Beograd, Yugoslavia. Inilah yang membuat PM Nikita Khrushchev membawa Uni Soviet semakin dekat dengan Indonesia.

Nikita Khrushchev mendukung Indonesia

Pada 1956, setelah Kongres Partai Komunis Uni Soviet yang ke-20, Presiden Soekarno berkunjung ke Uni Soviet.

Sang proklamator mendapatkan sambutan hangat dari PM Nikita Khrushchev.

Keduanya saling bertukar pikiran dan pendapat mengenai kondisi negara masing-masing.

Setelah Soviet menyatakan mendukung Indonesia pada 26 Februari 1960, berbagai kerja sama dilakukan, termasuk membantu angkatan bersenjata Indonesia.

Dana diguyurkan untuk mendukung perekonomian dan pembangunan di Indonesia.

Pada awal 1960, Soekarno mengundang delegasi Pemerintah Uni Soviet untuk berkunjung ke Indonesia.

Khrushchev mengaku sangat senang dan langsung menerima undangan tersebut.

Kedekatan ini sempat menimbulkan persepsi bahwa Pemerintahan Indonesia saat itu condong ke kiri. 

KRI Irian 201 

Pada sektor pertahanan, Soviet juga membantu Indonesia dengan proyek Cruiser 68-bis "Ordzhonikidze" yang dinamakan sebagai KRI Irian 201.

Kapal ini menjadi kapal perang Soviet yang pertama dalam sejarah pasca-peperangan yang dialihkan kepada negara asing.

Ada sejumlah cerita unik di balik proyek 68-bis. Untuk pertama kalinya, insinyur Soviet menggunakan teknologi pengelasan pada lambung kapal dan pengelasan satuan badan kapal yang berbobot 100–150 ton.

Berbeda dengan kapal negara lainnya, kapal perang ini mengangkut meriam kaliber kecil, yaitu meriam kaliber 150 mm sebagai pengganti kaliber 203 mm yang diimbangi dengan performa yang baik.

Kapal ini mengangkut 12 meriam utama kaliber 152 mm, 12 meriam kaliber 100 milimeter, dan 32 meriam kaliber 37 milimeter.

Selain itu, kapal ini mampu mengangkut hasil tambang dan membawa dua set torpedo tabung kaliber 533 milimeter.

Kapal ini juga menjadi saksi bisu runtuhnya hubungan Soviet dan Indonesia.

Gelora Bung Karno

Soviet juga sepakat untuk membantu penyediaan sejumlah peralatan dan memberikan pinjaman untuk penambangan timah dan barang tambang berharga.

Soekarno bahkan meminta agar Uni Soviet membantu pembangunan stadion di Jakarta untuk menunjang perhelatan Asian Games ke-IV pada 1962.  

Ketika itu, Indonesia diwajibkan membangun sebuah multi-sports kompleks, yang kala itu belum terbayangkan seperti apa wujudnya.

Pembangunan GBK didanai melalui pinjaman lunak Uni Soviet senilai 12,5 juta dollar AS. Uni Soviet juga mengirimkan insinyur dan teknisinya untuk merancang Stadion Utama GBK.

Perdana Menteri Uni Soviet Nikita Kruschev turut hadir dalam pencanangan tiang pancang pertama pada 8 Februari 1960.

Beton yang harus dicor sebanyak 100.000 meter kubik memerlukan 800.000 sak semen.

Beton bertulang untuk Stadion Utama juga tak kalah fantastis. Sebanyak 21.000 ton besi beton, jika disambung dalam rangkaian panjangnya mencapai 10.000 kilometer.

Total, ada 12.000 lebih tenaga pekerja yang bekerja pagi hingga malam untuk mewujudkan Gelora Bung Karno.

Dua tahun kemudian, pada 24 Agustus 1962, stadion itu resmi dibuka sebagai kelengkapan sarana dan prasarana Asian Games 1962 yang diadakan di Jakarta.

https://nasional.kompas.com/read/2019/02/26/18143891/kisah-indonesia-dan-uni-soviet-dari-kri-irian-201-hingga-gelora-bung-karno

Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke