Salin Artikel

Soal Netralitas PNS, Melihat Kembali Saat Orde Baru Mempolitisasi Korpri

Polemik bermula ketika dalam perkenalan desain sosialisasi Pemilu 2019 itu, Rudiantara meminta anak buahnya untuk memilih desain Nomor 1 atau Nomor 2. Pegawai Kemenkominfo kemudian riuh, karena pilihan ini banyak diasosiasikan dengan pilihan Pilpres 2019.

Saat salah seorang pegawai Kemenkominfo memberikan penjelasan bahwa dia memilih Nomor 2, Rudiantara pun menanggapinya dengan pernyataan kontroversial:

"Bu, Bu, yang bayar gaji Ibu siapa sekarang?" ujar Rudiantara dalam acara itu.

Pernyataan ini menuai polemik karena Rudiantara dianggap dapat memengaruhi netralitas aparatur sipil negara (ASN) dalam Pilpres 2019. Selain itu, pernyataan ini dipermasalahkan karena gaji ASN tak semestinya dikaitkan dengan pilihan politik.

Di dunia maya, sejumlah warganet pun menyayangkan pernyataan ini keluar dari lisan seorang pembantu presiden. Apalagi, saat ini Presiden Joko Widodo merupakan calon petahana yang ikut berkontestasi dalam Pilpres 2019.

Tagar #YangGajiKamuSiapa pun menjadi trending topic di Twitter.

Rudiantara kemudian menanggapi kritik dengan mencantumkan penjelasan Kemenkominfo. Menurut Kemenkominfo, pernyataan itu keluar sebab Rudiantara tidak ingin pegawainya mengeluarkan pernyataan politik di hadapan publik.

Netralitas ASN

Aturan mengenai netralitas ASN ini sudah diatur dalam Pasal 2 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara.

Selain itu, regulasi yang mengatur tentang netralitas ASN antara lain Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu dan Peraturan Pemerintah Nomor 53 Tahun 2010 tentang Disiplin Pegawai Negeri Sipil.

Ketentuan ini dibuat agar para ASN tidak digerakkan untuk kepentingan calon yang berkontestasi dalam pemilu, baik itu pilkada, pileg, atau pilpres.

Metode menggerakkan ASN atau pegawai negeri sipil (PNS) ini pernah terjadi pada era Orde Baru di bawah kepemimpinan Presiden Soeharto. Karena itu, netralitas ASN merupakan salah satu amanah reformasi.

Mesin Orde Baru

Pada era Orde Baru, PNS yang saat itu tergabung dalam Korps Pegawai Republik Indonesia (Korpri) memang menjadi mesin pemenangan Presiden Soeharto.

Karena itu, muncul istilah "ABG" sebagai mesin Orde Baru yaitu ABRI (Angkatan Bersenjata Republik Indonesia), Birokrasi (PNS), dan Golkar.

Dilansir dari Harian Kompas, pembentukan Korpri sendiri didasari oleh keinginan Presiden Soeharto untuk memberikan wadah dalam menghimpun kegiatan pegawai Republik Indonesia.

Pada 29 November 1971, terbentuklah Korpri sebagai wadah yang menghimpun pegawai negeri, pegawai BUMN, pegawai BUMD, serta perusahaan dan pemerintah desa.

Dilansir dari Harian Kompas yang terbit pada 2 Desember 1971, pembentukan Korpri bertujuan untuk menghimpun berbagai pegawai dari beberapa instansi dalam satu wadah yang nantinya ikut memantapkan stabilitas politik dan sosial.

Selain itu, Korpri dibentuk untuk meningkatkan daya guna dalam bidang pembangunan dan pelajaran masyarakat. Korpri juga menyelenggarakan usaha-usaha untuk meningkatkan dan memelihara kesejahteraannya melalui kegiatan tertentu.

Politisasi Korpri

Berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 82/1971, Korpri dibentuk dengan arahan langsung dari Presiden Soeharto. Dengan demikian, Soeharto berhak memberikan arahan atas berbagai aktivitas dan peran PNS.

Tak semua rencana awal dari pembentukan ini murni untuk menghimpun pegawai, karena Korpri kemudian dinilai menjadi alat politik Orde Baru dan Golongan Karya.

Penilaian ini akibat dikeluarkannya Peraturan Pemerintah Nomor 20 Tahun 1976 tentang Keanggotaan PNS dalam Partai Politik atau Golongan Karya. Aturan ini dinilai makin memperkokoh peran Korpri dalam memenangkan Golkar tiap pemilu.

Selain itu, ancaman mutasi menjadi momok jika PNS ketahuan tak memilih partai berlambang beringin itu, atau terlibat dalam kepengurusan di partai lain.

Hal ini tentu menjadi ironi, sebab pemerintah saat itu selalu menggaungkan pemilu yang langsung, umum, bebas, dan rahasia.

Bahkan dalam Harian Kompas edisi 28 Juli 1984 terdapat seorang pembaca yang berstatus PNS, yang mengeluhkan adanya surat permohonan untuk menjadi anggota Golkar kepada semua PNS di instansinya.

Bahkan surat itu disertai tembusan ke Badan Administrasi Kepegawaian Negara, sebagai yang berwenang menentukan karier dan masa depan seorang PNS.

Pembaca itu mengeluh karena jika dia tidak menjadi anggota Golkar, ada kekhawatiran tidak punya masa depan dalam berkarier sebagai PNS.

Dia pun terpaksa mengisi formulir itu dan menjadi anggota Golkar, padahal PNS semestinya sukarela untuk jadi anggota Golkar atau partai, selama ada izin atasan.

Bermacam cara yang dilakukan itu membuat Korpri ikut membantu langgengnya kekuasaan Soeharto hingga 32 tahun.

Jika melihat praktik Orde Baru dalam memanfaatkan PNS untuk melanggengkan kekuasaan, berbagai pihak pun berharap agar PNS/ASN tak disertakan dalam aktivitas politik. Karena itu, netralitas PNS/ASN menjadi hal yang perlu tetap dijaga.

https://nasional.kompas.com/read/2019/02/01/18231181/soal-netralitas-pns-melihat-kembali-saat-orde-baru-mempolitisasi-korpri

Terkini Lainnya

Menantu Jokowi Bakal Maju Pilkada Sumut, PDI-P: Jangan Terjadi Intervensi

Menantu Jokowi Bakal Maju Pilkada Sumut, PDI-P: Jangan Terjadi Intervensi

Nasional
Isu Tambah Kementerian dan Bayang-bayang Penambahan Beban Anggaran

Isu Tambah Kementerian dan Bayang-bayang Penambahan Beban Anggaran

Nasional
Eks Wakil Ketua DPR RI Azis Syamsuddin Mangkir dari Panggilan KPK

Eks Wakil Ketua DPR RI Azis Syamsuddin Mangkir dari Panggilan KPK

Nasional
Kementan Era SYL Diduga Beri Auditor BPK Rp 5 Miliar demi Opini WTP, Anggota DPR: Memalukan

Kementan Era SYL Diduga Beri Auditor BPK Rp 5 Miliar demi Opini WTP, Anggota DPR: Memalukan

Nasional
Sekjen DPR Indra Iskandar Minta KPK Tunda Pemeriksaan

Sekjen DPR Indra Iskandar Minta KPK Tunda Pemeriksaan

Nasional
Pansel Capim KPK Masih Digodok, Komposisinya 5 Unsur Pemerintah dan 4 Wakil Masyarakat

Pansel Capim KPK Masih Digodok, Komposisinya 5 Unsur Pemerintah dan 4 Wakil Masyarakat

Nasional
Bukan Pengurus Pusat PDI-P, Ganjar Disarankan Bikin Ormas agar Tetap Eksis di Politik

Bukan Pengurus Pusat PDI-P, Ganjar Disarankan Bikin Ormas agar Tetap Eksis di Politik

Nasional
Korlantas Polri Kerahkan 1.530 Personel BKO untuk Agenda World Water Forum Bali

Korlantas Polri Kerahkan 1.530 Personel BKO untuk Agenda World Water Forum Bali

Nasional
Program Deradikalisasi BNPT Diapresiasi Selandia Baru

Program Deradikalisasi BNPT Diapresiasi Selandia Baru

Nasional
Kirim Surat Tilang Lewat WA Disetop Sementara, Kembali Pakai Pos

Kirim Surat Tilang Lewat WA Disetop Sementara, Kembali Pakai Pos

Nasional
Polri Setop Sementara Kirim Surat Tilang Lewat WhatsApp, Bakal Evaluasi Lebih Dulu

Polri Setop Sementara Kirim Surat Tilang Lewat WhatsApp, Bakal Evaluasi Lebih Dulu

Nasional
Selain Eko Patrio, PAN Juga Dorong Yandri Susanto Jadi Menteri Kabinet Prabowo-Gibran

Selain Eko Patrio, PAN Juga Dorong Yandri Susanto Jadi Menteri Kabinet Prabowo-Gibran

Nasional
Fahira Idris Kecam Serangan di Rafah, Sebut Israel dan Sekutu Aib Peradaban Umat Manusia

Fahira Idris Kecam Serangan di Rafah, Sebut Israel dan Sekutu Aib Peradaban Umat Manusia

Nasional
PELNI Buka Lowongan Kerja Nahkoda dan KKM Periode Mei 2024

PELNI Buka Lowongan Kerja Nahkoda dan KKM Periode Mei 2024

Nasional
Ungkit Kasus Firli dan Lili, ICW Ingatkan Jokowi Tak Salah Pilih Pansel Capim KPK

Ungkit Kasus Firli dan Lili, ICW Ingatkan Jokowi Tak Salah Pilih Pansel Capim KPK

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke