Salin Artikel

Soal Protes Negara Lain Terkait Pembebasan Ba'asyir, Pemerintah Diminta Perkuat Komunikasi

Salah satu negara yang memprotes wacana pembebasan tersebut adalah Australia, yang disampaikan oleh Perdana Menteri Australia Scott Morrison.

"Saya tidak melihat konsekuensi yang terlalu serius, karena masing-masing negara memiliki kelemahan," ujar Dewi saat ditemui di Kantor The Habibie Center, Jakarta Selatan, Rabu (23/1/2019).

Ia menjelaskan, setiap negara memiliki kelemahan, yang juga kerap diprotes oleh negara lain.

Oleh karena itu, protes yang dilontarkan Australia tersebut dinilainya sesuatu yang wajar.

Menurut Dewi, hal itu sama ketika Indonesia memprotes sikap Australia yang berencana memindahkan kedutaan mereka ke Yerusalem.

Kendati demikian, untuk mencegah terganggunya hubungan antarkedua negara, Dewi mengatakan, komunikasi adalah kuncinya.

Ia menjelaskan, masing-masing negara perlu transparan dan menjelaskan alasan di balik pengambilan keputusan yang diprotes.

"Dalam hal ini yang pertama itu bagaimana meningkat saling pengertian kenapa satu kebijakan diambil, harus ada transparansi," ujar Dewi.

"Kemudian upaya mitigasi jangan sampai terjadi fall out atau bahaya spill over terhadap misalnya hubungan perdagangan, keamanan, atau kerjasama selama ini. Itu saya kira, yang penting komunikasi jangan sampai terputus," lanjut dia.

Hingga saat ini, Pemerintah Indonesia masih tarik ulur terkait pembebasan Ba'asyir. Informasi pembebasan Ba'asyir dibeberkan oleh penasihat hukum pribadi Jokowi, Yusril Ihza Mahendra.

Ketika pernyataan Yusril dikonfirmasi kepada Presiden Joko Widodo, ia membenarkan bahwa telah menyetujui pembebasan Ba'asyir.

Menurut Jokowi, Baasyir dibebaskan karena alasan kemanusiaan. Sebab, pimpinan dan pengasuh pondok pesantren Al-Mukmin Ngruki, Sukoharjo itu sudah berusia 81 tahun dan sudah sakit-sakitan.

"Ya yang pertama memang alasan kemanusiaan, artinya beliau kan sudah sepuh. Termasuk ya tadi kondisi kesehatan," kata Jokowi usai meninjau pondok pesantren Darul Arqam, di Garut, Jumat (18/1/2018) siang.

Berbagai kritik bermunculan terkait keputusan itu karena dinilai tidak memiliki landasan hukum.

Kemudian, pada Senin (21/1/2019) malam, Menteri Koordinator bidang Politik, Hukum dan Keamanan Wiranto menggelar jumpa pers mendadak di kantornya.

Wiranto menegaskan, pembebasan Ba'asyir membutuhkan pertimbangan dari sejumlah aspek terlebih dahulu.

Keesokan harinya, Selasa (22/1/2019), Presiden Joko Widodo meluruskan polemik mengenai wacana pembebasan terpidana kasus terorisme Ustaz Abu Bakar Ba'asyir.

Presiden menegaskan, pemerintah pada intinya sudah membuka jalan bagi pembebasan Ba'asyir, yakni dengan jalan pembebasan bersyarat.

Akan tetapi, Ba'asyir harus memenuhi syarat formil terlebih dulu, baru dapat bebas dari segala hukuman.

Pada hari yang sama, Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko menyatakan bahwa saat ini permintaan pembebasan bersyarat atas Abu Bakar Ba'asyir tidak dapat dipenuhi oleh pemerintah.

Sebab, Ba'asyir tidak mau memenuhi syarat formil yakni menandatangani surat yang menyatakan ia setia pada NKRI.

"Iya (tidak dibebaskan). Karena persyaratan itu tidak boleh dinegosiasikan. Harus dilaksanakan," ujar Moeldoko.

Namun, Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Yasonna Laoly kembali memberikan pernyataan yang berbeda.

Saat memberikan keterangan pers di kantornya, Selasa (22/1/2019) malam, Yasonna menyebut bahwa pembebasan Ba'asyir masih dikaji.

"Sama dengan penjelasan yang disampaikan oleh Menko (Menkopolhukam Wiranto), kita sudah rapat kemarin membahas isu ini," kata Yasonna.

"Masih melakukan kajian yang mendalam dari berbagai aspek tentang hal ini. Hukum dan juga secara ideologi seperti apa konsep Negara Kesatuan Republik Indonesia-nya, keamanannya dan lain-lain. itu yang sekarang sedang digodok dan sedang kita bahas secara mendalam," lanjut dia.

https://nasional.kompas.com/read/2019/01/23/22553191/soal-protes-negara-lain-terkait-pembebasan-baasyir-pemerintah-diminta

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke