Penyelidikan kasus yang terjadi di Banyuwangi, Jember, dan Malang tersebut telah dilakukan sejak tahun 2015.
Ketika terjadi pergantian pimpinan di Komnas HAM pada 2017, penyelidikan dilanjutkan oleh tim yang diketuai oleh Beka Ulung Hapsara, yang juga merupakan Komisioner Komnas HAM periode 2017-2022.
"Kami melanjutkan kerja kawan-kawan periode sebelumnya. Ini relatif berarti tiga tahun tim ini dibentuk dan hari ini kita melaporkan hasilnya," ujar Beka saat konferensi pers di Media Center Komnas HAM, Gedung Komnas HAM, Jakarta Pusat, Selasa (15/1/2019).
Beka menjelaskan, penyelidikan tersebut dilakukan setelah Komnas HAM menerima laporan adanya indikasi pelanggaran HAM berat pada kasus tersebut.
Peristiwa yang terjadi 20 tahun lalu itu telah menimbulkan ratusan korban.
Berdasarkan data yang ditunjukkan Komnas HAM, terdapat sebanyak 194 korban jiwa di Banyuwangi, 108 korban di Jember, dan 7 orang di Malang.
Komnas HAM kemudian menemukan pola peristiwa yang dimulai dengan unsur pra-kejadian.
Beka menyebutkan, sebelum kejadian, berkembang isu tentang etnis China dan isu tentara yang berada di daerah tersebut.
Selain itu, mereka juga menemukan adanya radiogram dari Bupati Banyuwangi kala itu terkait daftar orang yang diduga sebagai dukun santet.
"Kedua, ada radiogram Bupati Banyuwangi pada waktu itu Turyono Purnomo Sidik. Kemudian mengirimkan radiogram soal pendataan orang yang diduga dukun santet. Dikirimkan ke masing-masing kecamatan di Banyuwangi," ujar Beka.
Unsur kedua adalah modus yang sama yaitu mematikan listrik, menggunakan tali, disertai dengan komandan yang menggerakkan massa.
Berikutnya, muncul orang asing di daerah itu. Mereka diidentifikasi bukan sebagai orang lokal karena tidak menggunakan bahasa daerah.
Beka mengatakan, Komnas HAM juga menemukan tanda-tanda di rumah milik target sebagai pola berikutnya.
"Kalau di Malang misalnya karena kebetulan kami berdua (Beka dan Komisioner Komnas HAM/Wakil tim penyelidikan Choirul Anam) ada di Malang waktu tahun 1998-1999, ada di tiang listrik segala macamnya," ungkap dia.
Penggunaan tanda tersebut juga menjadi awal isu ini mengalami eskalasi. Setelah dukun santet, isunya mulai merambah ke kemunculan ninja dan orang gila.
Di pihak aparat, Komnas HAM juga menemukan adanya pembiaran karena lambatnya tindakan aparat padahal memiliki informasi terkait situasi di lapangan.
Alasan lain yang membuat Komnas HAM berkesimpulan ada pembiaran adalah aparat tidak mengambil tindakan efektif meski menerima laporan.
Atas temuan tersebut, Komnas HAM menemukan bukti permulaan yang cukup untuk menduga kasus tersebut sebagai bentuk pelanggaran HAM berat.
Bukti permulaan tersebut yaitu terdapat dua tindakan kejahatan, yaitu pembunuhan dan kejahatan.
"Kesimpulan kami kemudian ada bukti permulaan yang cukup (terjadinya kejahatan terhadap kemanusiaan). Misalnya terkait dengan pembunuhan Pasal 7 huruf b jo Pasal 9 huruf a UU Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM," kata Beka.
https://nasional.kompas.com/read/2019/01/15/21001501/komnas-ham-ungkap-hasil-penyelidikan-kasus-pembunuhan-dukun-santet-1998-1999