Disebutkan, sajak tersebut dikutip calon presiden nomor urut 02 dari sajak yang ditemukan di kantong baju perwira muda yang gugur dalam sebuah pertempuran di Banten pada tahun 1946.
Berikut kutipan yang dibacakan Prabowo:
"Kita tidak sendirian, beribu-ribu orang bergantung kepada kita. Rakyat yang tak pernah kita kenal, rakyat yang mungkin tak akan pernah kita kenal. Tetapi apa yang kita lakukan sekarang, akan menentukan apa yang terjadi kepada mereka"
Dilihat dari sisi sejarah, sajak tersebut merupakan penggalan sajak yang ditemukan di saku Letnan Satu Soebianto Djojohadikoesoemo, yang gugur dalam pertempuran Lengkong.
Dalam pemberitaan Harian Kompas, 30 Januari 1997, diketahui bahwa Letnan Satu Soebianto merupakan paman dari Prabowo Soebianto.
Pertempuran Lengkong
Letnan Satu Soebianto Djojohadikoesoemo saat itu tidak sendirian. Ia gugur bersama dua perwira Polisi Tentara Resimen IV Tangerang dan 33 taruna lainnya dari Akademi Militer (AM) Tangerang. Salah satunya juga adik Soebianto, Soejono.
Tepatnya pada 25 Januari 1946, selepas shalat Jumat, dipimpin oleh Mayor Daan Mogot, para taruna muda sangat antusias menjalankan tugas pelucutan senjata kepada tentara Jepang, dengan menemui Kapten Abe, pemimpin tentara Jepang di Lengkong, Serpong.
Berdasarkan pemberitaan Harian Kompas, sebenarnya misi pelucutan senjata tersebut akan dilaksanakan secara damai.
Sekitar pukul 16.00 WIB, pasukan tiba di markas Jepang yang berada di tengah kebun karet di Desa Lenkong Wetan, Kecamatan Serpong, Tangerang.
Disebutkan, Mayor Daan Mogot, Mayor Wibowo, dan Taruna Alex Sajoeti bersama beberapa tentara memasuki kantor Kapten Abe.
Kala itu, di dalam markas, Daan Mogot menyampaikan maksud kedatangannya. Sementara taruna lainnya di bawah pimpinan Soebianto dan Soetopo yang berada di luar ruang perundingan mulai melucuti senjata Jepang.
Truk-truk pengangkut senjata memasuki kompleks, tak disangka, tiba-tiba suara letusan terdengar.
Pemberitaan Harian Kompas 25 Januari 1992 menyebutkan, menurut satu sumber, salah seorang serdadu India sebelumnya mengambil sebuah senjata dari tumpukan di lapangan. Dikatakan, dia belum pernah melihat jenis senjata yang dipakai tentara Jepang, sehingga terheran-heran mengamatinya sambil mengutak-utik senjata tersebut.
Namun, entah karena apa, senjata tersebut meletus. Situasi menjadi panik. Pihak Jepang menduga mereka terjebak, kemudian dengan sigap mulai menembaki para taruna AM Tangerang.
Sebagian tentara Jepang yang telah menyerahkan senjatapun kembali merebut senjatanya.
Para taruna tak menyangka akan mengalami kejadian ini. Mereka berhamburan masuk ke dalam kebun karet. Mencoba melawan dan melepaskan tembakan dengan senjata yang dibawanya.
Namun, diceritakan, mereka mengalami kesulitan menggunakan senjata karabennya, karena selama pendidikan baru berjalan dua bulan, dan belum sempat menembakkannya sendiri.
Senjata karaben mereka tidak dilengkapi klip peluru, sehingga terpaksa peluru dimasukkan satu per satu dengan tangan ke dalam kamar senjata.
Mendengar hal tersebut, Daan Mogot segera berlari keluar dan berupaya untuk menghentikan pertempuran, tapi upayanya gagal.
Terjadi pertempuran yang tidak seimbang, di mana pihak Jepang lebih unggul dari sisi persenjataan ketimbang Indonesia.
Tak pelak, pertempuran tidak seimbang ini menyebabkan korban berjatuhan. Pertempuran berakhir ketika hari mulai gelap. Mereka gugur dalam usia muda, yaitu 16-24 tahun, sementara yang masih hidup ditawan Jepang, dan beberapa lainnya berhasil melarikan diri.
Harian Kompas mengabarkan, setelah kejadian ini pihak Indonesia dan Jepang melakukan komunikasi yang menghasilkan beberapa kesepakatan.
Salah satu kesepakatan tersebut adalah jenazah yang telah dimakamkan bersama di Lengkong dipindahkan dan dimakamkan dengan upacara resmi di Taman Makam Pahlawan Taruna Tangerang.
Sementara, tawanan dibebaskan, serta semua persenjataan dan amunisi dikembalikan kepada pihak Indonesia.
Tewasnya dua paman Prabowo
Akademi Militer Tangerang merupakan akademi militer Indonesia pertama yang bermula dari seruan Pemerintah RI pada 5 Oktober 1945.
Ketua Harian Yayasan 25 Januari 1946 Rani D Sutrisno menceritakan, taruna Akademi Militer Tangerang tersebut memang baru saja masuk akmil. Para taruna ini baru mulai pendidikan pada 18 November 1945.
Akademi Militer Tangerang atau yang lebih dikenal dengan Militaire Academie Tangerang didirikan oleh mantan Shondancho, yang mulai memikirkan sistem pendidikan militer pasca kemerdekaan.
Saat itu, Jakarta dikuasai tentara sekutu dan NICA, maka dipilihlah daerah Tangerang. Akademi ini dipimpin oleh Daan Mogot sebagai direktur, berdiri di bawah komando Resimen IV TKR di Tangerang.
Mulailah pembukaan pendaftaran bagi usia 18-25 tahun yang mempunyai kemauan sungguh-sungguh untuk mempertahankan Indonesia tetap merdeka.
Meskipun syarat minimal berusia 18 tahun, namun pada kenyataannya banyak yang usianya di bawah 18 tahun turut mendaftar. Salah satunya adalah Sujono, yang juga paman Prabowo.
"Betapa saat itu pemuda memiliki semangat membara untuk mempertahankan kemerdekaan RI. Meraka yang masih berusia 16 tahun atau 17 tahun ikut mendaftar. Sujono, salah seorang taruna yang tewas di Lengkong, usianya masih 16 tahun," kata Rani, putri Letnan Sutrisno, salah satu perwira saat itu, dilansir dari Harian Kompas edisi 15 Agustus 2016.
Sementara sang kakak, Soebianto, juga gugur dalam peristiwa itu. Pada saku baju yang dia pakai terdapat syair yang kemarin dipakai Prabowo dalam pidato kebangsaannya.
Dalam Harian Kompas, Julius Pour menulis bahwa syair itu merupakan penggalan puisi karya Henrietter Roland Holst yang tertulis dalam Bahasa Belanda.
Margono Djojohadikusumo, yang juga kakek Prabowo, meminta Rosihan Anwar untuk menggubahnya dalam Bahasa Indonesia. Bunyi syair itu menjadi:
"Kami bukan pembina candi/ kami hanya pengangkut batu/ kamilah angkatan yang pasti musnah/agar menjelma angkatan baru..."
Untuk mengenang dua adiknya, Soemitro Djojohadikusumo kemudian memberikan dua nama itu kepada anaknya: Prabowo Soebianto dan Hashim Soejono.
https://nasional.kompas.com/read/2019/01/15/12181471/kisah-di-balik-sajak-di-saku-kantong-prajurit-yang-dibacakan-prabowo