KOMPAS.com - Perjalanan Indonesia menjadi negara yang berdaulat terbilang tak mudah meski proklamasi kemerdekaan sudah dibacakan pada 17 Agustus 1945.
Upaya Sekutu untuk melucuti senjata Jepang pasca-Perang Dunia II dimanfaatkan Belanda untuk kembali berkuasa dan menjajah Indonesia. Sejumlah pertempuran dan diplomasi dilakukan, salah satunya Perjanjian Renville pada 17 Januari 1948.
Namun, Belanda mengingkari Perjanjian Renville yang telah disepakati. Pada 19 Desember 1948, pesawat DC-3 Dakota menerjunkan pasukan dari udara menuju ibu kota Indonesia di Yogyakarta.
Pasukan Belanda disiagakan penuh untuk menyerang Kota Pendidikan itu. Pukul 05.45 delapan pesawat Jagers Belanda menyergap Pangkalan Udara Maguwo, menghancurkan pasukan AURI yang hanya mengandalkan senjata ringan.
Belanda juga mendaratkan pasukan tambahan serta perlengkapan bermotor. Pukul 09.30, Tijger Brigade dalam komando Kolonel Van Langen menyerbu Yogyakarta, 6 kilometer dari Maguwo.
Namun, dilansir dari Harian Kompas yang terbit pada 20 Desember 1998, pimpinan TNI bersama induk pasukan tidak hancur.
Panglima Besar Jenderal Sudirman, dalam kondisi sakit parah, lolos setelah pukul 08.00 mengeluarkan instruksi bahwa Yogyakarta diserang dan Angkatan Perang harus segera menjalankan rencana yang ditetapkan sebelumnya.
Kejadian 19 Desember 1948, serbuan ke Yogyakarta untuk melibas keberadaan Republik, tak berbuntut baik. Sultan Yogyakarta Hamengku Buwono IX yang diminta jadi raja seluruh RI, menolak dan tak pernah mau keluar dari keraton.
Presiden Soekarno yang sebelumnya memimpin sidang kabinet mengirim mandat membentuk pemerintahan darurat kepada Menteri Kemakmuran Syafrudin Prawiranegara yang sedang di Bukittinggi.
Bung Karno juga mengirim radiogram kepada Soedarsono di New Delhi, India, sekitar rencana pembentukan pemerintahan pelarian. Wapres yang juga menjabat Perdana Menteri Muhammad Hatta mengirim perintah tertulis untuk tetap meneruskan perjuangan.
Ketika serbuan berlangsung, Presiden Soekarno dan Wapres Hatta, melalui RRI Yogyakarta mengeluarkan maklumat.
"Belanda mungkin dapat merebut beberapa tempat penting namun tidak mungkin mematahkan semangat perjuangan," kata Bung Karno.
Bukittinggi jadi pilihan
Kota Bukittinggi dikenal memiliki banyak cerita historis. Di tempat ini juga Kaum Padri mencoba melakukan perlawanan kepada kubu Belanda.
Pada masa pendudukan Jepang, Bukittinggi dijadikan sebagai pusat pengendalian pemerintahan militernya untuk kawasan Sumatera, bahkan sampai ke Singapura dan Thailand.
Kota ini menjadi tempat kedudukan komandan militer ke-25 Kempetai, di bawah pimpinan Mayor Jenderal Hirano Toyoji.
Dilansir dari website Kementerian Pertahanan (www.kemhan.go.id), ketika Belanda menyerang Yogyakarta, Soekarno langsung menunjuk Syafrudin Prawiranegara untuk membuat pemerintahan darurat selaku Menteri Kemakmuran.
Maka dari itu, sore harinya Syafrudin Prawiranegara beserta Kolonel Hidayat dan Gubernur Sumatera Teuku Mohammad Hasan sepakat merealisasikan mandat Soekarno.
Sejak saat itulah Kota Bukitinggi berperan sebagai kota perjuangan dan ditunjuk sebagai ibu kota Negara Indonesia setelah Yogyakarta jatuh ke tangan Belanda atau dikenal dengan Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI).
Pembentukan ini guna menyelamatkan pemerintahan Indonesia yang telah dibentuk sejak Agustus 1945, agar kedaulatannya masih tetap terjaga. Selain itu untuk berjaga-jaga karena kondisinya Soekarno dan Hatta ditangkap Belanda.
Setelah perjanjian Roem Royen, akhirnya dualisme kepemimpinan dalam tubuh RI dikembalikan kepada asalnya. Sidang dilakukan dengan menghadirkan Soekarno, Hatta, menteri kabinet dan petinggi PDRI.
Secara formal, Syafruddin Prawiranegara menyerahkan kembali mandatnya sehingga kepemimpinan berada pada Soekarno dan Hatta.
Ditetapkan sebagai Hari Bela Negara
Untuk memperingati hari bersejarah ketika itu, pemerintah pada masa kepemimpinan Susilo Bambang Yudhoyono mengeluarkan Keputusan Presiden Nomor 28 Tahun 2006. Isinya adalah menerapkan 19 Desember sebagai Hari Bela Negara.
Selain itu, untuk mengenang sejarah perjuangan Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI), pemerintah Republik Indonesia membangun Monumen Nasional Bela Negara di salah satu kawasan yang pernah menjadi basis PDRI dengan area seluas 40 hektar.
Lokasi itu berada d Jorong Sungai Siriah, Nagari Koto Tinggi, Kecamatan Gunung Omeh, Kabupaten Lima Puluh Kota, Sumatera Barat.
https://nasional.kompas.com/read/2018/12/19/19032041/hari-bela-negara-saat-bukittinggi-jadi-ibu-kota-pemerintahan-darurat-ri