Salin Artikel

Kontemplasi Demokrasi

Saat malam, mereka menjadikan partai politik dan topik representasi sebagai santapan. Dan, basa-basi kedaulatan rakyat adalah cemilan saat menonton televisi jelang kantuk menyapa.

Apakah itu salah? Tentu saja tidak. Demokrasi adalah instrumen. Demokrasi adalah alat bagi para politisi untuk unjuk gigi dan mengedepankan kepentingan-kepentinganya, baik jangka pendek ataupun panjang.

Dari sisi teologis, demokrasi adalah alat untuk mengingkari Tuhan. Dalam demokrasi, Tuhan tak berdaulat. Selama rakyat tak bisa menghukum, selama institusi hukum bisa dihindari, hukum tuhan bukanlah sebuah keperluan medesak, sangat jarang dijadikan bahan pertimbangan.

Demokrasi adalah soal rakyat yang dikemas semenarik mungkin di mulut para elite politik. Demokrasi adalah soal rakyat yang diiming-imingi dengan kedaulatan.

Di antara rakyat dan elite, nyatanya terhalang dinding kaca yang sangat tebal, bahkan tak tertembus peluru. Rakyat bisa menyaksikan, tetapi alih-alih menyentuh, suaranya bahkan tak terdengar karena terhalang kaca tebal kedap suara.

Bagi rakyat banyak, demokrasi adalah dongeng. Demokrasi adalah gigauan tidur yang syukur-syukur bisa mengurangi jumlah pengeluaran bulanan.

Demokrasi adalah hadiah tak berharga, tapi lumayan menghibur. Diliburkan saat pemilihan, dihibur saat kampanye. Lumayan toh buat penghilang suntuk dan lelah.

Kadang tak jarang, gara-gara demokrasi, rakyat banyak bisa kebagian baju gratis, sembako cuma-cuma, dan amplop berisikan selembar dua lembar rupiah.

Jadi, demokrasi hanya hiburan bagi rakyat banyak. Basa-basi kedaulatan rakyat adalah kopi pagi hari, bersama sesumbar "dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat" sebagai pisang gorengnya. Salahkah? Jelas jauh dari salah. Rakyat hanya mengikuti irama.

Itulah realitas Indonesia. Rakyat hanya pengikut. Jangan salahkan rakyat kalau pilkada menjadi mahal. Semakin banyak yang ditebar, semakin banyak permintaan yang datang. Rakyat hanya bermain dengan hukum alam yang ada. Rezeki datang tak boleh ditolak, pamali.

Sekalipun tak ada jaminan akan dicoblos karena hanya Tuhan yang mengetahui tiap-tiap isi hati rakyat, para elite tak pernah jera. Para elite tak berniat untuk jera.

Jelang pilkada serentak, jelang pemilihan legislatif, jelang pemilihan presiden, lobby-lobby mendadak berparameterkan angka. Kursi dihitung dan dikonversikan ke dalam angka tertentu, kemudian lahirlah harga.

Bagi rakyat, mereka hanya menari mengikuti ritme musik yang dimainkan. Rakyat berjoget saat musik dangdut yang dilantunkan. Berdansa saat alunan klasik yang dimainkan. Bahkan mereka siap meliuk-liuk layaknya tarian religius Timur Tengah saat musiknya bernuansa kasidah.

Rakyat Indonesia adalah bagaimana elitenya. Begitulah sejarah sosio-historis negeri ini. Rusak elitnya, rusak kehidupan rakyatnya. Rusak moral elitenya, rakyat semakin menikmati lelehannya.

Taruhannya adalah negara bangsa. Taruhannya adalah masa depan generasi muda yang kian tak berpegangan. Adakah elit memikirkan? Biarkan waktu yang menjawab.

Hari ini, demokrasi bukan lagi tentang kebebasan, tapi semestinya tentang pembebasan. Rakyat sudah dijajah oleh elite-elitenya.

Sistem sudah dirusak oleh negosiasi-negosiasi para elite. Tata kelola pemerintahan sudah buah dari permainan-permainan yang tak sehat. Angka-angka sudah tak murni lagi, bisa di-generate sesuka hati.

Politik dijalankan berdasar selera pasar. Oleh karena itu, survei ilmiah adalah industri statistik terlaris.

Demokrasi adalah tentang selera pasar, bukan tentang moralitas kepentingan rakyat. Selera pasar sangat penting karena preferensi mayoritas adalah raja. Dan, demokrasi kemudian hanya tersisa absurditas tak bertepi.

Oleh karena itu, jika tetap ingin berdemokrasi sekaligus membawa substansinya, maka rakyat harus dibebaskan dari pengaruh elite-elite.

Rakyat harus dijauhkan dari rekayasa-rekayasa politik murahan, dibebaskan dari pencitraan-pencitraan kelas receh. Rakyat harus bisa membedakan mana yang fakta dan mana yang dongeng.

Jika tidak, demokrasi hanya skenario opera sabun mandi. Lembaga perwakilan harus mewakili, bukan mencibir. Lembaga perwakilan harus dibesarkan sekaligus diefektifkan.

Partai-partai harus berbenah dan "tahu diri". Peran partai adalah penyambung lidah pemilih. Rusak partainya, lidahnya bisa cadel, aspirasinya bisa tak sesuai lagi dengan aslinya.

Dominasi partai harus diimbangi dengan regulasi-regulasi ketat. Partai bukan penjual suara rakyat, tapi pembela dan penyambung.

Dari partai, kemudian masuk ke lembaga perwakilan, dan menjadi kebijakan-kebijakan. Dari partai, ideologi kebangsaan ditebar ke pemilih.

Dari partai, pemahaman negara bangsa Indonesia di tanamkan secara edukatif ke dalam memori pemilih.

Dari partai, semangat persatuan dan toleransi disalurkan ke kantong-kantong pemikiran pemilih dan banyak lagi tugas lain. Demikianlah semestinya peran partai.

Apakah rakyat peduli? Bagi rakyat, partai tak penting. Oleh karena itu, partai lah yang harus menyadarkan dirinya bahwa demokrasi sangat bergantung kepada partai.

Rusak partainya, rusak pula demokrasinya. Semakin transaksional partainya, semakin transaksional demokrasinya. Sesederhana itu saja.

Jika partai tak paham justifikasi etis, justifikasi logis, dan justifikasi moral keberadaanya, maka demokrasi Indonesia sedang menuju kehancuran.

Politisi-politisi harus mengenali tanda-tanda kehancuran demokrasi. Ketidakpercayaan rakyat kepada partai dan parlemen yang tinggi adalah tanda yang harus disikapi segera. Politisi harus mampu membuktikan bahwa demokrasi layak dipertahankan.

Jika tidak, demokrasi hanya akan menjadi ajang gontok-gontokan di satu sisi dan ajang negosiasi jangka pendek di sisi lain. Demokrasi akan menjadi wadah politik identitas dan sarang korupsi kelas tinggi.

Oleh karena itu, jika bukan politisi yang menebar kesadaran demokrasi, lantas siapa lagi? Jika politisi justru memperalat demokrasi, maka selesai sudah urusan demokrasi kita.

Karena apa? Karena di tangan-tangan mereka keputusan di ambil. Jika pemimpin dan politisi membuang muka dari kesejatian demokrasi, maka harapan rakyat sudah tamat.

Maka, jangan minta rakyat untuk berharap, untuk berdoa, untuk berpandangan positif terhadap sistem yang berjalan, jika dari pemimpin dan politisi pun harapan itu sebenarnya tiada, hanya janji dan citra palsu, maka rakyatpun tak etis untuk diminta berharap. Sesederhana itu saja.

https://nasional.kompas.com/read/2018/12/12/16270611/kontemplasi-demokrasi

Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke