Masih banyaknya diskriminasi membuat mereka yang terinfeksi virus tersebut menjadi malas untuk mencari informasi atau berobat.
"Kita masih dengar teman-teman yang pergi ke layanan kesehatan, dari petugas kesehatan tidak terlalu friendly atau tidak memberi informasi yang membantu," jelasnya saat konferensi pers di Kantor LBH Masyarakat, Jakarta Selatan, Jumat (30/11/2018).
"Dan ada judgement soal morality, membuat orang malas, tidak mau di-lecture, tidak mau ke layanannya," lanjut dia.
Kemudian, diskriminasi juga dapat berbentuk public shaming yang berasal dari publik, media, dan bahkan keluarga yang tidak mendukung anggotanya ketika terinfeksi virus ini.
Tina menuturkan, ada beberapa adat atau praktek-praktek tradisional yang turut mengucilkan penderita. Misalnya, sebuah adat di Papua yang memberi denda kepada pengidap virus tersebut.
Stigma dan diskriminasi yang masih berkembang soal penderita HIV/AIDS menjadi kontributor utama sulitnya penanganan kasus ini.
Akibatnya, berdasarkan data UNAIDS, hanya sekitar 96.298 dari 630.000 pengidap virus HIV di Indonesia yang berobat, per Juni 2018.
Padahal, di tahun 2017, Indonesia telah memiliki 5.124 tempat bagi masyarakat untuk melakukan konseling dan mengecek apakah mereka mengidap virus HIV atau tidak.
Selain itu, terdapat 641 pusat pengobatan ARV, 2.344 pusat pelayanan penyakit menular seksual, dan 233 pusat pelayanan untuk HIV dan tuberkulosis.
"Menurut UNAIDS, layanan sudah ada, tetapi gara-gara banyak stigma dan diskriminasi yang ada di Indonesia, orang takut, saya juga kenal banyak orang yang bilang ke saya mending enggak tahu (dia positif atau tidak)," jelasnya.
https://nasional.kompas.com/read/2018/11/30/16105431/unaids-petugas-kesehatan-media-dan-keluarga-turut-mendiskriminasi-pengidap