Surat tersebut, harus menyatakan bahwa penyandang disabilitas mental sedang dalam kondisi sehat. Hal itu sebagai salah satu syarat mereka dapat menyumbangkan suaranya di Pemilu 2019.
Pramono menegaskan, jika tak memiliki surat rekomendasi dokter, penyandang disabilitas mental tak bisa menggunakan hak pilih.
"Nanti pas pemungutan suara, kalau dia sehat dan bisa mendapatkan rekomendasi dari dokter kejiwaan, nah itu boleh memilih. Tapi kalau misalnya enggak mendapatkan rekomendasi atau surat keterangan bahwa dia sehat, dari dokter kejiwaan, itu tetap enggak bisa memilih," kata Pramono di kantor KPU, Menteng, Jakarta Pusat, Senin(19/11/2018).
Namun demikian, Pramono memastikan, pihaknya sudah memasukkan nama pemilih disabilitas mental ke dalam Daftar Pemilih Tetap (DPT) Pemilu 2019.
Hal itu, sebagai upaya dari KPU untuk melindungi hak pilih warga negara sekaligus pelaksanaan bunyi Peraturan KPU (PKPU) Nomor 11 tahun 2018 tentang penyusunan daftar pemilih dalam negeri.
Pramono menjelaskan, bahwa disabilitas mental atau gangguan jiwa tidak bersifat permanen. Jika seorang penyandang disabilitas mental tak dimasukkan ke dalam DPT, tetapi kelak saat hari pemungutan suara dia dalam keadaan sehat, maka ia bisa kehilangan hak suaranya.
"Gangguan jiwa atau kehilangan ingatan itu kan tidak permanen. Kalau tidak didaftar di DPT nanti ternyata pas di pemungutan suara sudah sembuh, berarti pemilih kehilangan hak pilih," jelas Pramono.
"Jadi hak pilihnya dulu yang dilindungi, soal nanti mencoblosnya, itu harus dibuktikan dengan surat keterangan sehat dari dokter jiwa. Itu yang diadopsi KPU," sambungnya.
https://nasional.kompas.com/read/2018/11/19/19514491/kpu-penyandang-disabilitas-mental-wajib-bawa-rekomendasi-dokter-saat