Salin Artikel

#2019GantiPresiden, antara Persekusi dan Makar

TAYANGAN AIMAN di KompasTV, malam ini akan mengangkat topik soal tanda pagar (tagar) yang sepekan belakangan panas jadi pembicaraan.

Meski terdapat surat undangan yang saya terima, terkait aksi #2019TetapJokowi, di Karawang, Jawa Barat, tetapi tetap #2019GantiPresiden menjadi topik utama karena adanya berbagai kejadian.

Penolakan masif di 3 wilayah

Diawali pekan lalu, terjadi penolakan terhadap aktivitas #2019GantiPresiden secara serentak di beberapa kota. Setidaknya saya mencermati ada tiga wilayah yang menjadi berita utama: Riau, Surabaya, dan Pangkal Pinang.

Di Riau, rencananya ada aksi panggung massa #2019GantiPresiden yang akan dihadiri Neno Warisman, mantan penyanyi yang kini jadi ustazah.

Di Surabaya, Jawa Timur, juga ada aksi serupa yang dihadiri pesohor ternama Ahmad Dhani. Sementara di Pangkal Pinang, Provinsi Bangka Belitung, rencananya juga ada diskusi yang dihadiri aktivis Ratna Sarumpaet.

Namun, ada insiden penolakan di tiga acara itu. Neno dan Ratna dihadang massa sehingga tidak bisa keluar dari bandara. Keduanya kemudian diminta aparat untuk kembali ke Jakarta dengan alasan menghindari bentrok massa dari dua kubu berseberangan.

Ahmad Dhani juga dihadang massa di depan hotel tempatnya menginap di Surabaya. Dhani menyebut ia dipersekusi atas hal yang menurutnya tidak dilakukan yaitu mengeluarkan kata "idiot" yang menurutnya bukan ditujukan ke ormas Banser NU.

Ketiganya kami hubungi

Saya berupaya mewawancarai ketiganya. Neno tidak bisa dihubungi selama 3 hari. Pesan singkat tak berbalas dan telepon tidak diangkat.

Sementara, Ratna Sarumpaet membatalkan jadwal wawancara secara tiba-tiba. Sebelumnya, Tim AIMAN sudah dapat kesepakatan untuk wawancara pada Jumat pagi. Ratna mengatakan ia mendadak harus terbang keluar kota.

Saya kemudian mewawancarai Ahmad Dhani di rumahnya yang kabarnya akan dijual puluhan miliar rupiah untuk kampanye dirinya dan membantu kemenangan bakal Capres Prabowo Subianto.

"Idiot" menurut Dhani

Saya menanyakan apa yang Dhani sebut dengan "idiot" saat berorasi di Surabaya, Jawa Timur. Ia mengatakan, kata "idiot" yang menyebabkan ia dihadang puluhan orang di depan hotel tidak ditujukan kepada Ormas Banser NU.

Klarifikasi Dhani, kata idiot yang ia lontarkan ditujukan kepada situasi yang menurutnya janggal. Penjagaan begitu ketat sebelum hingga selama aksi berlangsung.

Pelarangan acara juga berlangsung secara masif, kata dia. Dhani merasa pergerakannya dibatasi termasuk saat ia ingin bersalaman dengan para pendukungnya.

Dhani menengarai Badan Intelijen Negara (BIN) berada dibalik ini semua karena BIN menyatakan minta maaf jika penanganan terhadap aksi #2019GantiPresiden dirasa berlebihan.

Beberapa waktu lalu, Juru Bicara Kepala BIN Wawan Hari Purwanto memang menyatakan meminta maaf terkait pemulangan Neno Warisman di Pekanbaru, Riau.

Jenderal BIN dan keadaan “memaksa”

Menindaklanjuti pernyataan Dhani, saya menemui Wawan Hari Purwanto. Sudah "offiside" kah BIN di garis depan yang melakukan "eksekusi" pemulangan salah satu tokoh aksi?

Wawan menjawab, "Dalam keadaan ‘overmacht’ alias memaksa atau force majeure alias darurat, siapa pun bisa bertindak. Jangankan aparat, warga sipil biasa pun bisa melakukannya."

“Apakah situasi penolakan terhadap Neno di Riau memang masuk dalam kategori darurat?” tanya saya.

Menurut Wawan, situasi darurat digambarkan sebagai situasi yang berpotensi terjadinya bentrokan atau jatuhnya korban. “Maka, ada proses yang bisa dilakukan untuk menghindari terjadinya hal ini,” ujar dia.

Dalam vlog-nya Neno menggambarkan ketidaknyamanan atas sikap seorang Perwira Tinggi yang disebutnya kasar saat memberikan arahan kepada Neno dan sejumlah kawan yang mendampingi Neno.

Terlepas dari perdebatan apakah situasi penolakan terhadap Neno bisa dikatakan darurat atau tidak, Undang - Undang Intelijen Negara (UU No. 17 Tahun 2011), pasal 5, menyebutkan:

"Tujuan Intelijen Negara adalah mendeteksi, mengidentifikasi, menilai, menganalisis, menafsirkan, dan menyajikan Intelijen dalam rangka memberikan peringatan dini untuk mengantisipasi berbagai kemungkinan bentuk dan sifat ancaman yang potensial dan nyata terhadap keselamatan dan eksistensi bangsa dan negara serta peluang yang ada bagi kepentingan dan keamanan nasional."

Tentu ada perdebatan apakah insiden Riau masuk ke dalam situasi yang disebut undang-undang itu. Tapi yang jelas, setiap aktivitas intelijen tentu tidak akan terdeteksi.

Dalam teori intelijen, aktivitas intelijen hanya bisa dicirikan dengan menyimpulkan siapa yang diuntungkan dan siapa yang dirugikan. 

Yang diuntungkan, paling mungkin yang melakukan penggalangan dan pengondisian. Siapa yang dirugikan, paling mungkin pula yang menjadi target dari aksi intelijen ini. Tidak bisa pula hitam-putih, dilihat secara kasat mata.

Gerakan dan roh demokrasi

Terlepas dari semua perdebatan di atas, satu hal yang patut dijaga, marwah demokrasi tak boleh dibungkam.  Gerakan masyarakat sipil, selama tidak melanggar aturan, termasuk juga bukan makar, tak boleh dikebiri.

Apa pun itu, #2019GantiPresiden atau #2019TetapJokowi harus diliat sebagai gerakan masyarakat sipil. Pagarnya adalah undang-undang. Mereka yang melanggar undang-undang bisa dihukum. Organisasi yang melanggar undang-undang pun bisa dibubarkan.

Kita telah bersepakat bahwa Indonesia adalah negara konstitusi, bukan negara kekuasaan atau negara agama!

Saya Aiman Witjaksono,

Salam!

https://nasional.kompas.com/read/2018/09/03/08405681/2019gantipresiden-antara-persekusi-dan-makar

Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke