Penyimpangan itu dilakukan Kepala Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) Syafruddin Arsyad Temenggung.
"Pertama, terjadi misrepresentasi utang petambak sebesar Rp 4,8 triliun," ujar ahli dari BPK I Nyoman Wara di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta, Senin (6/8/2018).
Menurut Nyoman, Sjamsul Nursalim menyatakan piutang Rp 4,8 triliun sebagai aset lancar pada perhitungan jumlah kewajiban pemegang saham (JKPS) dalam perjanjian Master Settlement Aqcuisition Agreement (MSAA).
MSAA merupakan perjanjian penyelesaian BLBI dengan jaminan aset obligor. Padahal, dalam kenyataannya, piutang tersebut dalam kondisi macet.
Penyimpangan kedua, dilakukan pengalihan penanganan aset kredit tanpa melibatkan divisi aset manajemen investasi (AMI). Menurut Nyoman, pada 21 Mei 2002, Ketua BPPN minta aset dijual melalui aset manajemen kredit (AMK) tanpa mengikutsertakan divisi AMI yang menangani PKPS.
Dengan demikian, utang petambak tidak lagi menjadi tanggung jawab pemegang saham. Rapat Komite Kebijakan Sektor Keuangan (KKSK) menghitung utang petambak menjadi Rp 100 juta per petambak.
Sehingga, utang petambak secara keseluruhan menjadi Rp 1,1 triliun. Sedangkan, sisanya dihapuskan.
Kemudian, pada penyimpangan ketiga, ditemukan fakta bahwa dalam persetujuan KKSK atas penyelesaian MSAA, Kepala BPPN tidak memberikan informasi lengkap bahwa Sjamsul masih punya kewajiban tambahan karena ada misrepresentasi
Selain itu, penyimpangan keempat, Kepala BPPN menandatangani akta penyelesaian akhir pada 12 april 2004. Kemudian, menandatangani SKL kepada Sjamsul pada 26 April 2004.
"Padahal Sjamsul belum selesaikan misrepresentasi piutang Rp 4.8 triliun. Misrepresentasi adalah pelaggaran jaminan atas pernyataan Sjamsul. Itu dapat diminta ganti rugi sesuai MSAA," kata Nyoman.
https://nasional.kompas.com/read/2018/08/06/13122581/bpk-temukan-4-penyimpangan-pemberian-skl-blbi-kepada-sjamsul-nursalim